Mengembangkan Pembiayaan Syariah Pertanian

Pertanian memiliki fungsi dan peran strategis bagi masyarakat dan pemerintah, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Pertanian tidak sekadar menghasilkan bahan pangan, tetapi juga memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat. Saat ini, makna pertanian tidak hanya mencakup pada aspek produksi usaha tani (on-farm production) semata, tapi juga mencakup kegiatan luar usahatani yang terkait dengan produksi, baik yang berada di hulu maupun hilir {off-farm production), serta aktivitas penunjang (supporting services) yang mendukung penuh seluruh kegiatan pertanian tersebut. Namun, ketika kita berbicara tentang petani, maknanya tidak lepas dari kegiatan produksi usahatani, karena sebagian besar petani kita masih berkutat pada on-farm production, yang bertujuan untuk menghasilkan komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pangan (food), pakan {feed), serta fiber atau energi.


Sebagai negara agraris, Indonesia dianugerahi Allah SWT dengan berbagai jenis sumber daya alam secara melimpah. Namun, limpahan sumberdaya alam tersebut belum terkelola dengan baik, sehingga berbagai produk pertanian masih harus diimpor, dan belum memberikan tingkat kesejahteraan yang layak bagi petani sebagai pelaku utama produksi komoditas. Pada tahun 2009, kontribusi sektor pertanian mencapai angka 15,60 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sementara jumlah tenaga kerja yang ditampung sektor ini mencapai angka 40,30 persen dari jumlah keseluruhan angkatan kerja Indonesia (BPS, 2009). Hal ini menunjukkan rata-rata pendapatan petani yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan para pelaku sektor ekonomi lainnya. Akibatnya, tingkat kemiskinan di sektor ini masih relatif tinggi. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan dan tingginya angka kemiskinan di sektor pertanian, yaitu rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan, rendahnya produktivitas usahatani, rendahnya harga produk di tingkat petani, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, serta minimnya akses petani terhadap sumber pembiayaan.


Pendanaan pertanian


Sebagian besar petani masih memerlukan pendanaan untuk melakukan usaha pertaniannya. Kebutuhan dana tersebut dapat bersifat langsung, seperti untuk membeli faktor-faktor produksi, maupun secara tidak langsung, seperti untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, atau keperluan sosial lainnya, pada saat hasil pertanian belum dapat dipanen dan dijual. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB (2010) di Kabupaten Bogor, yang menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk membeli input produksi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, merupakan variabel yang sangat memengaruhi produktivitas petani. Cara termudah yang biasanyadilakukan petani adalah dengan meminjam dana dari para tengkulak atau lembaga keuangan informal lainnya yang beroperasi di wilayah pedesaan.


Meskipun lembaga perbankan konvensional (bank pemerintah, swasta, dan BPR) telah tersedia di berbagai wilayah pedesaan, para petani tidak dapat mengaksesnya secara mudah akibat keterbatasan mereka dalam hal prosedur administrasi dan agunan. Sehingga, lembaga-lembaga keuangan ini tidak mampu bersaing dengan para tengkulak, yang dapat memberikan pinjaman besar atas dasar kepercayaan, tanpa agunan, dan dalam waktu singkat. Akibatnya, di samping menanggung beban bunga yang tinggi, para petani juga harus menjual produknya kepada tengkulak dengan harga yang relatif rendah. Kondisi inilah yang menyebabkan terpuruknya tingkat kesejahteraan petani, baik petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, maupun peternakan.


Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai bantuan program, seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Akan tetapi, program pemerintah semacam ini menimbulkan sejumlah masalah moral hazard, karena (1) sebagian petani menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga tidak perlu dikembalikan; (2) sebagian kelompok tani penerima program didirikan secara mendadak, sehingga kurang memiliki pengalaman operasi yang baik; dan (3) pembagian dana program yang hanya terbatas pada anggota kelompok tani penerima bantuan. Fakta menunjukkan bahwa pendanaan semacam ini pada praktiknya sangat tidak efektif.


Selanjutnya, kebutuhan pendanaan pertanian ini sangat bergantung pada jenis aktivitas produksi yang dikembangkan. Dari segi waktu, usaha penggemukan ayam broiler hanya membutuhkan waktu sekitar satu bulan, berbeda dengan usaha penggemukan sapi yang membutuhkan waktu antara satu hingga dua tahun. Demikian pula dengan usahatani padi yang membutuhkan waktu sekitar empat bulan, sementara penanaman kelapa sawit dapat memakan waktu lebih dari 10 tahun. Dari sisi pembiayaan, jenis pembiayaan pertanian ini juga sangat beragam, mulai dari pembelian sarana produksi (benih, pupuk pestisida, tenaga kerja), pembelian alat dan dan mesin pertanian (traktor, pompa air), hingga pembelian bibit/bakalan ternak (domba, sapi, kerbau) yang akan digemukkan.


Pembiayaan syariah


Dengan kompleksitas jenis produksi dan tingginya kebutuhan pembiayaan di sektor pertanian, keberadaan pola pembiayaan syariah menjadi sangat penting. Apalagi para petani di Tanah Air sudah terbiasa menggunakan sistem bagi hasil, seperti sistem mara pada tanaman pangan maupun sistem gaduh-an pada peternakan. Bahkan, menurut ekonom syariah Umar Chapra (2001), pembiayaan pertanian syariah ini telah berkembang pada abad pertengahan. Namun pada abad ke-19, pola-pola pembiayaan syariah ini tidak lagi


PANDUAN METODE PEMBIAYAAN SYARIAH


dipergunakan akibat kemerosotan sistem politik dan masyarakat Muslim itu sendiri, di samping kolonialisasi Barat.


Dalam konteks saat ini, merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, ada beberapa bentuk pembiayaan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik dari produksi pertanian itu sendiri. Sebagai contoh, untuk mengatasi keperluan mekanisasi pertanian, maka akad mudharabah, ijarah, maupun diminishing musyarokah (DM) dapat dipergunakan. Demikian pula untuk pengadaan sapi dan tangki penyimpanan susu, pembiayaan murabahah dan istishna dapat menjadi alternatif yang tepat. Pendeknya, ada banyak pilihan metode pembiayaan yang dapat dikembangkan.


Melihat potensi yang sangat besar ini, sudah sewajarnya bila proporsi pembiayaan syariah untuk pertanian semakin ditingkatkan. Ada baiknya kita merujuk pada pengalaman Pakistan. Di negara tersebut, pembiayaan syariah untuk pertanian telah beroperasi secara masif dan luas. Dalam hal ini, kegiatan sektor pertanian dibagi menjadi dua, yaitu sektor tanaman dan sektor bukan tanaman.


Pembiayaan sektor tanaman {crop sector) diberikan untuk kegiatan budidaya tanaman dan hortikultura. Bank syariah menyediakan fasilitas pembiayaan untuk kegiatan produksi, seperti pembelian input atau modal usaha, dan investasi pembangunan, sepertipembelian traktor atau alat produksi lainnya. Sedangkan, pembiayaan sektor nonta-naman {non-crop sector) diberikan untuk kegiatan produksi peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Pelaksanaan aktivitas pembiayaan ini telah ditentukan prosedurnya oleh bank sentral, yaitu State Bank of Pakistan (SBP). Selain itu. SBP juga telah menetapkan sejumlah pedoman penerapan metode pembiayaan syariah untuk pertanian, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 1.


Dengan jumlah petani Indonesia yang besar (jauh lebih banyak dari Pakistan), serta kontribusi sektor pertanian sebagai tulang punggung masyarakat dan pemerintah, sudah semestinya upaya-upaya pelayanan pembiayaan pertanian di Indonesia dikembangkan secara serius. Bagi penulis, prospek pembiayaan syariah untuk pertanian ini sangat baik, apalagi sebagian masyarakat sudah mengenal mekanisme kerja sama bisnis syariah seiring dengan peningkatan sosialisasi ekonomi syariah yang semakin baik. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah bersama kalangan industri perbankan syariah meningkatkan kualitas perencanaan dan penerapan pola pembiayaan syariah yang tepat. Penulis yakin, upaya ini akan memberikan dampak multiplier yang tinggi terhadap perekonomian nasional, serta dapat mengurangi kebergantungan bangsa pada bahan pangan impor.


Dr Yusman Syaukat, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Klik suka di bawah ini ya