Terobosan Pembiayaan Rumah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Dari rumahlah bermula aktivitas manusia. Dalam perspektif Islam dikenal konsep baiti jannati, (rumahku surgaku). Dari konsepsi tersebut, rumah mempunyai peran penting dan strategis bagi kehidupan seseorang dan keluarganya.


Rumah, selain menjadi simbol status sosial ekonomi seseorang, juga berperan membentuk  watak, akhlak, serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh karena itu, konstitusi dan peraturan perundang-undangan mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, aman, serasi, dan teratur.


Sebagai hak dasar yang fundamental, maka penyediaan perumahan yang memenuhi prinsip-prinsip layak dan terjangkau bagi semua orang telah menjadi komitmen global sebagaimana dituangkan dalam Agenda Habitat (The Habitat Agenda, Istanbul Declaration of Human Settlements) dan Millenium Development Goals (MDGs). Harus diakui bahwa pembangunan perumahan belum mencapai kondisi ideal seperti diharapkan.


Masih banyak rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni dengan dukungan prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum (PSU) yang serta terbatas dan kurang memadai. Demikian pula jumlah kekurangan rumah (backlog) terus meningkat akibat daya dukung penyediaan rumah baru tidak sebanding dengan pertambahan jumlah rumah tangga baru.


Salah satu permasalahan pokok yang dihadapi dalam pembangunan perumahan adalah masalah pembiayaan, yaitu kondisi keuangan negara belum mampu sepenuhnya membiayai pembangunan perumahan (masih sangat terbatas). Demikian pula daya beli (affordability) masyarakat masih rendah dan belum mampu menyesuaikan dengan harga pasar perumahan sehingga mereka tidak dapat memenuhi hak dasar mereka akan rumah layak huni.


Di samping itu, perkembangan tingkat suku bunga dan inflasi yang cendrung fluktuatif berpengaruh terhadap sistem pembiayaan perumahan yang pada gilirannya akan memberatkan masyarakat sebagai end-user. Demikian pula, belum terintegrasinya sistem pembiayaan perumahan menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian (mismatch) pembiayaan di mana sumber pembiyaan perumahan berjangka pendek digunakan untuk membiayai kredit/pembiayaan perumahan berjangka panjang.


Kemudian, pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) melakukan intervensi dalam bentuk bantuan pendanaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Bantuan pendanaan tersebut diberikan dalam pola subsidi uang muka atau subsidi selisih bunga/margin/angsuran yang dananya berasal dari pos belanja APBN sehingga ketika disalurkan, dana tersebut langsung habis. Seiring dengan terus meningkatkanya target MBR yang perlu disubsidi, maka kebutuhan dana subsidi yang semakin besar pada gilirannya semakin membebani APBN.


Oleh karena itu, pemerintah melakukan terobosan dan reformasi (ijtihad) di bidang pembiayaan perumahan. Hasilnya adalah penyediaan dana murah jangka panjang berupa dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dana FLPP ini disalurkan, baik untuk kredit/pembiayaan konstruksi (KK) maupun untuk kredit/pembiayaan kepemilikan rumah (KPR).


Penyaluran dana FLPP untuk KK ini sebagai bentuk intervensi pemerintah dari sisi pasokan (supply side) dan dimaksudkan sebagai insentif bagi para pengembang agar mau membangun rumah murah. Sedangkan penyaluran dana FLPP untuk KPR merupakan bentuk intervensi dari sisi permintaan (demand side) dan dimaksudkan untuk memperbaiki daya beli MBR akan rumah layak huni.


Adapun pengelolaan dana FLPP ini dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Kemenpera dalam bentuk penempatan dana di bank pelaksana, kemudian dana tersebut digabungkan (blended) dengan dana bank pelaksana dengan proporsi tertentu menggunakan pola pembiayaan bersama (joint financing) untuk menerbitkan pembiayaan dengan tingkat margin yang terjangkau dan tetap sepanjang masa pembiayaan. Sedangkan penyalurannya dilaksanakan, baik secara konvensional maupun sesuai dengan prinsip syariah.


Terkait dengan penyaluran dana FLPP sesuai prinsip syariah, akad yang digunakan  (sesuai keputusan DSN-MUI No: 001/DSN-MUI/I/2011) dikelompokkan menjadi dua. Pertama, untuk penempatan dana BLU-Kemenpera pada perbankan syariah sebagai bank pelaksana, dapat menggunakan akad: mudharabah dalam bentuk deposito iB dan dapat diberikan nisbah khusus, atau wadi'ah untuk giro iB, atau mudharabah musytarakah untuk penempatan dana khusus. Kedua, untuk penyaluran pembiayaan kepada kelompok sasaran (end-user), dikelompokkan menjadi dua, yaitu pembiayaan kepemilikan rumah (KPR syariah) dan pembiayaan konstruksi (KK syariah). Untuk KPR Syariah, dapat menggunakan akad: murabahah, istishna', ijarah muntahiya bi al-tamlik, dan musyarakah mutanaqisah. Sedangkan untuk KK syariah, dapat menggunakan akad murabahah atau istishna.


Dukungan perbankan syariah
Sebagai bentuk ijtihad pembiayaan, program FLPP memiliki kelebihan dibanding program subsidi, baik dilihat dari sisi kelompok sasaran (masyarakat/pengembang) maupun dari sisi pemerintah. Dari sisi kelompok sasaran, program ini memberikan margin yang rendah  (satu digit atau  < 10 persen per tahun)  dan tetap selama masa pinjaman (fixed rate mortgage), baik untuk pinjaman selama sembilan bulan (untuk KK syariah) maupun untuk pinjaman selama 10 tahun atau 15 tahun (untuk KPR syariah).


Sedangkan program subsidi hanya berlaku selama jangka waktu subsidi (4-8 tahun). Jika masa subsidi selesai, masyarakat akan membayar angsuran dengan tingkat bunga pasar yang relatif mahal dan tentu saja memengaruhi kemampuan mereka membayar angsuran. Dari sisi pemerintah, program FLPP jelas jauh lebih menguntungkan dibanding program subsidi karena subsidi di APBN masuk di pos belanja, sedangkan dana FLPP masuk di pos pembiayaan yang digunakan sebagai dana bergulir (revolving fund).


Namun demikian, keberhasilan program FLPP ini akan tergantung dari dukungan perbankan syariah dalam bentuk kesediaan mereka menjadi bank pelaksana dari program FLPP tersebut. Hal tersebut juga akan menggambarkan tingkat komitmen perbankan syariah melaksanaan maqashid asy-syariah dan tujuan perbankan syariah itu sendiri. Dalam pasal 3 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dikatakan bahwa perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran perbankan syariah diharapkan mampu memberikan jawaban atas ketimpangan sosial akibat hegomoni sistem keuangan ribawi yang dirasakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.


Dari perspektif bisnis, sebenarnya kesediaan perbankan syariah menjadi bank pelaksana dari program FLPP ini akan menguntungkan perbankan syariah, yaitu: (a) dapat memperbaiki tingkat likuiditas; (b) mengurangi mismatch pembiayaan perumahan karena dana FLPP merupakan dana murah jangka panjang; (c) dapat melaksanakan fungsi intermediasinya; (d) kesempatan memperoleh keuntungan; dan (e) diharapkan dapat meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah terhadap total industri perbankan nasional.


Oleh: Rahmat Hidayat, Kepala Bidang Inovasi Pembiayaan Syariah Kementerian Perumahan Rakyat

Klik suka di bawah ini ya