Pemikiran Ekonomi Pak Sjaf

Dari tulisan-tulisan yang dikumpulkan dan disunting oleh Ajip Rosidi, "Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih 2" (CV Haji masagung, Jakarta, 1988) pikiran utama Sjafruddin (1911-1989) di bidang ekonomi terlihat sangat jelas. Ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal 30 Maret 1983 (Karet 30) yang mendevaluasikan rupiah terhadap mata uang asing, Sjafruddin antara lain menulis: "Kalau pemerintah mengelola dan membangun ekonomi Indonesia secara wajar dengan berpedoman kepada APBN yang benar-benar berimbang, yaitu tidak terlalu bergantung pada pinjaman-pinjaman luar negeri dan penerimaan-penerimaan dari minyak bumi, kita pada tahun 1978 itu tidak perlu mengadakan devaluasi, tidak perlu ada Kenop 15. Dan, begitu juga sekarang, Maret 30 tidak perlu diadakan kalau pemerintah berkenan memperhatikan pandangan dan anjuran saya itu."


Lima tahun sebelumnya, ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah pada 15 November 1978 (Kenop 15) yang melahirkan devaluasi rupiah, Sjaf ruddin menulis: “Kalau kita dalam Repelita II (yang meliputi masa 1974/1975-1978/1979) telah bersedia ‘berdikari’ dan menyusun anggaran pembangunan yang benar-benar berimbang— tidak mengharapkan ‘bantuan’ (pinjaman) dari luar negeri— maka kita masih dapat menyusun rencana pembangunan yang progresif, mulai dari tahun 1974/ 1975-1978/1979 tanpa minta-minta bantuan dari luar negeri.”


Sikap ‘antipinjaman’ dari luar negeri itu bukanlah tanpa alasan, sebab menurut Sjafruddin, hasil ekspor kita sejak tahun 1972/1973 hingga 1977/ 1978 melonjak-lonjak nilainya. Di mata Sjafruddin, rencana pembangunan yang disusun pemerintah terlampau ambisius, jauh di atas kemampuan rakyat dan kurang memperhatikan prinsip ‘berdikari’.


Meskipun Sjafruddin dikenal sebagai lawan politik Bung Karno yang amat tangguh, tapi ia tidak kehilangan objektivitasnya off-shore-loans seperti perusahan milik asing atau setengah asing, tetapi juga kekurangan manajerial knowledge dan skill.


Selanjutnya, modal asing— yaitu perusahan-perusahan asing yang bermodal—lebih suka bekerja sama dengan warga negara Indonesia yang sejak dulu biasa dan oleh karena itu mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam usaha dagang dan industri, yaitu warga negara turunan asing, khususnya Cina. Apalagi kalau modal asing itu milik Cina asing, warga negara Singapura, Taiwan, atau Hong Kong, tentu mereka akan mencari pembantu atau partner di kalangan WNI turunan Cina.


Sjafruddin masih melanjutkan uraiannya yang membenarkan bahwa lenyapnya perusahaan-perusahaan kecil milik pribumi digantikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan modal besar adalah proses alamiah yang terjadi di seluruh negara industri. Tetapi, lanjut Sjafruddin, dalil itu dapat dibantah. Benar, (tenaga) manusia di mana-mana dikalahkan oleh (tenaga) mesin, tetapi di negara-negara yang bangsa Indonesia umumnya,” tulis Sjafruddin.


Bagi Sjafruddin, mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materialnya, yang harus dapat dinikmati oleh rakyat seluruhnya supaya tercipta keadilan sosial. Di mata Sjafruddin, pembangunan yang dilaksanakan oleh orde baru tidak atau sangat kurang berakar ke dalam rakyat karena (rakyat) tidak/kurang diajak berpartisipasi, tatapi segala sesuatu direncanakan dan kemudian dipaksakan dari atas ke bawah.


Sepintas lalu, hasil pembangunan itu menggembirakan dan mengagumkan. Tetapi, kalau datang resesi ekonomi dunia, harga minyak jatuh, pinjaman-pinjaman lunak tidak/sukar diperoleh, kecuali pinjaman komersial dengan bunga dan kewajiban bayar kembali yang jauh lebih tinggi dan berat dari biasa, sedang modal swasta yang ada cenderung untuk meninggalkan tanah air kita dan dipermudah.


Demikianlah, beberapa pokok pikiran Sjafruddin yang jelas amat memihak kepada kepentingan rakyat. Jika dari uraian di atas tertangkap kesan Sjafruddin antimodal asing, sesungguhnya kesan serupa itu tidak tepat sama sekali. Benar Sjafruddin memang tidak setuju kepada kredit atau utang luar negeri karena dianggapnya mengandung beban. Menurut Sjafruddin, lebih baik kita mengimpor modal karena yang akan menanggung risikonya nanti orang asing itu sendiri.


Soal keberpihakan
Di manakah posisi Sjafruddin di dalam percaturan pemikiran ekonomi Indonesia? Apa dan bagaimanapun posisinya, Sjafruddin tetap tegar membela kepentingan rakyat. Sjafruddin bergerak menghimpun para pengusaha Muslim di dalam wadah Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (Husami). Ketika PT Arafat yang sahamnya sebagian besar dimiliki kaum Muslim Indonesia mengalami kebangkrutan drastis karena faktor dari dalam dan luar perusahaan, Sjafruddin melalui Husami menyelenggarakan perjalanan haji yang ongkos naik haji (ONH)-nya terbukti lebih murah ketimbang tarif resmi pemerintah.


Sayangnya, ONH yang lebih murah dan jelas-jelas menguntungkan rakyat itu dilarang oleh pemerintah. Ketimbang menurunkan tarif dan memperbaiki pelayanan kepada umat, pemerintah lebih suka menggunakan kekuasaan untuk memonopoli perjalanan haji.


Sebuah disertasi yang ditulis oleh John Sutter menyebut Sjafruddin sebagai figur yang sangat rasional dalam memandang fungsi kapital. Di mana saja kapital sama, tidak merugikan. Yang harus dikontrol adalah orangnya, kapitalnya sendiri harus dimanfaatkan. Bagi Sutter, Sjafruddin adalah seorang ahli moneter dan sangat ahli di bidang bujet. Bagi orang Belanda, Sjafruddin terkenal sangat teliti dan berhati-hati dalam menghitung anggaran.


Dalam zaman serba bebas sekarang ini, sungguh menarik mengkaji kembali pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara. Ramalannya bahwa politik ekonomi Presiden Soeharto akan mengalami kegagalan jika dijalankan terlampau praktis-pragmatis, perlu direnungkan oleh semua yang berkepentingan terhadap susksesnya pembangunan menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan bagi segelintir rakyat Indonesia.


Lukman Hakiem, Sekretaris Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya