Restrukturisasi Pembiayaan Syariah

Tumbuh Kembangnya usaha perbankan syariah yang didominasi sebagian besar oleh aktivitas pembiayaan, akan sangat dipengaruhi oleh kualitas,pembiayaan yang disalurkan. Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah biasanya dilakukan dalam bentuk transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah, atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik.
Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna, transaksi  pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam  bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, pembiayaan tersebut merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Untuk itu, pengelolaan bank yang optimal dalam aktivitas pembiayaan diharapkan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi.


Data statistik perbankan syariah Bank Indonesia akhir 2010 menunjukkan bahwa saat ini telah beroperasi 11 bank umum syariah (BUS) dan 23 unit usaha syariah (UUS) serta 150 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan total aset yang jauh melesat menjadi Rp 97,5 miliar.


Posisi pembiayaan selama lima tahun terakhir telah melaju dari Rp 15 triliun pada 2005 menjadi Rp 68 triliun pada 2010. Pembiayaan ini tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun adalah 35,15 persen per tahun.


Di sisi lain, dengan adanya pertumbuhan pembiayaan yang signifikan itu, posisi non performance financing (NPF) akhir 2010 tercatat 3,02 persen. Persentase ini masih di bawah norma standar BI, yakni lima persen dan jauh lebih baik dari NPF BPRS, yaitu 6,5 persen.


Bila kita telusuri angka persentase ini, ternyata cukup menyedihkan bila dilihat dari pertumbuhan nominal NPF lima tahun terakhir yang jauh melesat dari Rp 430 miliar pada 2005 menjadi Rp 2,059 triliun pada akhir 2010. Secara rata-rata terjadi pertumbuhan NPF 42 persen per tahun. Dengan begitu, bisa disimpulkan rata persentase pertumbuhan absolute nominal NPF jauh lebih tinggi ketimbang rerata persentase pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah.


Banyak faktor yang bisa menjadi pemicu menaiknya NPF, baik faktor internal bank, internal nasabah, eksternal, kegagalan bisnis, maupun ketidakmampuan manajemen. Kelima faktor ini sering diperburuk oleh kegagalan strategi perbankan syariah dalam menjajaki sejumlah sektor pembiayaan korporasi, di antaranya mencakup pembiayaan manufaktur, infrastruktur, dan properti.


Risiko kredit semakin besar akibat dari sisi akad, perbankan syariah tengah meningkatkan pembiayaan dengan akad nonmurabahah (nonjual beli), seperti mudharabah atau bagi hasil yang memiliki risiko tinggi karena ketidaksempurnaan informasi petugas melihat level usaha nasabah dan terbatasnya informasi produktivitas usaha.


Mengingat NPF bisa menimbulkan permasalahan sistemis bagi pemegang saham, nasabah penyimpan dana dan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak salah Bank Indonesia melakukan relaksasi regulasi restrukturisasi pembiayaan syariah yang diberlakukan bagi bank syariah dan unit usaha syariah mulai akhir Februari 2011 yang lalu.


Restrukturisasi pembiayaan
Pada perubahan regulasi ini, BI mewajibkan seluruh perbankan syariah memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure (SOP) tertulis mengenai restrukturisasi pembiayaan yang harus disetujui komisaris dan menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi atas pembiayaan yang tergolong kurang lancar, diragukan, dan macet. Kebijakan dan SOP restrukturisasi pembiayaan ini merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko bank di mana penyusunannya harus dilakukan koordinatif dengan dewan pengawas syariah (DPS).


Restukturisasi pembiayaan kini dapat dilakukan sebagai upaya bank membantu nasabah dalam menyelesaikan kewajiban melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring. Dengan rescheduling, bank dapat melakukan perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya.


Melalui reconditioning, bank dapat mengubah sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang diharuskan untuk dibayar ke bank, baik melalui perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, pemberian potongan, maupun jangka waktu. Khusus untuk pembiayaan mudharabah atau musyarakah, dimungkinkan dilakukan perubahan nisbah dan proyeksi bagi hasil.


Restructuring merupakan perubahan persyaratan pembiayaan yang dilakukan dengan penambahan dana fasilitas pembiayaan bank, konversi akad pembiayaan, serta konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah jangka waktu menengah.


Restrukturisasi pembiayaan secara regulasi hanya dapat diberikan bagi nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan memiliki prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Khusus pembiayaan konsumtif, restrukturisasi hanya dapat dilakukan bagi nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah serta mampu memenuhi kewajiban setelah dilaksanakan restrukturisasi.


Pelaksanaan restrukturisasi wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai dan didokumentasikan dengan baik. Bukti-bukti yang memadai adalah adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja baru yang diperoleh nasabah, atau adanya sumber pembayaran lain yang jelas.


Oleh: Bambang Rianto Rustam, Dosen Magister Manajemen Universitas Riau dan Praktisi Perbankan
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya