Mengembangkan Ekonomi Islam Teoritis

Memperbincangkan ekonomi memang selalu saja menjadi hal yang menarik. Apalagi tema ekonomi Islam yang saat ini digembar-gembor menjadi salah satu alternatif sistem ekonomi pengganti mazhab ekonomi kapitalis yang sedang sakit, bahkan sekarat. Sampai pusat Vatikan pun konon menyuruh umatnya untuk mempelajari sistem ekonomi dan keuangan Islam. Lantas banyak muncul tulisan yang berujung tesis: There’s something wrong with capitalism. Kita perlu lebih memakai moral dan etika dalam berekonomi.

Di dalam pembahasan masalah ekonomi –pun juga ekonomi Islam, kita hampir tak akan lepas dari penjelasan bagian berikut: pertama, perilaku ekonomi (economic behavior) sebagai subjek yang vital dalam ekonomi secara keseluruhan. Disana ada manusia sebagai penggerak dan pelaku utama ekonomi. Economic behavior kemudian menjadi entitas yang dapat membuat ekonomi bernilai positif atau negatif. Menjadi positif ketika ia mampu menjaga keberlangsungan alam dan kemaslahatan seluruh makhluk bumi. Namun sebaliknya, menjadi negatif tatkala ketamakan, salah urus, keserakahan dan moral buruk menjadi punggawa yang membawa ke ketidakseimbangan ekosistem. Yang kedua dari pembahasan masalah ekonomi adalah perihal kealaman. Alam menjadi hal setelah perilaku ekonomi yang juga penting. Manusia kemudian Allah perintahkan sebagai khalifah untuk mengurusnya. Sehingga sinergi ini kemudian menciptakan ekuilibria (baca: keseimbangan yang banyak) dalam satu kesatuan semesta.

Berbicara lebih dalam tentang ekonomi Islam, ia dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama bahwa ekonomi Islam dapat dieja sebagai ‘sistem nilai’. Di sini sebagian besar pembahasan berhubungan dengan hukum ekonomi. Ia mewujud sebagai “fiqh muamalah maaliyyah” yang sifatnya dinamis dan senantiasa menyesuaikan dengan zaman. Sederhananya: domain ekonomi Islam ditinjau dari pandangan syariat dimana para ulama sebagai pemilik otoritas.


Di sisi lain, ekonomi Islam juga dapat dibaca sebagai sebuah ‘sistem analisis’. Ekonomi Islam diartikulasi sebagai sebuah ilmu yang ia mempunyai landasan ontologis, epistemologis sekaligus aksiologis. Tak beda dengan ekonomi Islam sebagai sebuah tatanan nilai, perspektif ekonomi Islam sebagai ‘sistem analisis’ juga bersifat dinamis. Hal ini dipahami karena sebagai sistem analisis tentunya sifatnya akan lebih teknis strategis berupa kebijakan-kebijakan ekonomi. Andaikata satu kebijakan yang diambil pemerintah di waktu tertentu dirasa kurang tepat bahkan kontraproduktif, maka merubah kebijakan menjadi niscaya.

Lepas dari euphoria ekonomi dan keuangan Islam di seantero dunia, andai kita menggunakan kacamata kritis, maka ada hal yang patut kita perhatikan. Perkembangan ekonomi Islam di tataran praktek, tidak diimbangi dengan pengembangan ekonomi Islam pada sisi teori. Padahal, sebagai sebuah ilmu, semestinya ekonomi Islam juga bukan hanya perlu ditransformasikan ke dalam tataran praktis-implementatif tetapi harus pula diiringi dengan perkembangan di sisi akademis-teoretis. Keduanya mesti berjalan beriringan. Tidak kemudian satu berlari dan yang lainnya berjalan di tempat. Dan berpijak dari argumentasi inilah, riset-riset pengembangan keilmuan ekonomi Islam menjadi amat penting.

Seperti yang telah kita ketahui, dalam peta pemikiran dan pengembangan ekonomi Islam saat ini terdapat tiga arus pemikiran utama, yakni: Pertama, Mazhab Baqir al-Sadr dengan tokoh utamanya Baqir Sadr dan Ali Syariati. Aliran ini memiliki paham bahwa terdapat perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi dan Islam. Dan oleh karenanya, istilah ekonomi harus diganti dengan kata ‘Iqtishad’. Mazhab ini pula cenderung tidak menyetujui aksioma ekonomi konvensional ‘limited resources-unlimited wants’. Kedua, Mazhab Mainstream dengan tokoh-tokohnya: M.A. Mannan, Umer Chapra, Nejatullah Siddiqi, Monzer Kahf dan Anas Zarqa. Jika yang pertama berwarna ‘fundamentalis’, yang kedua ini lebih bersifat ‘jalan tengah’ dalam penyikapan terhadap ekonomi konvensional. Dan karena sifatnya yang moderat, mazhab ini menjadi paling dominan. Ide-ide yang ditawarkan menggunakan economic modelling dan metode kuantitatif, serta didukung oleh lembaga-lembaga besar yang mendukung untuk pengkajian dan publikasi hasil-hasil kajian mereka. Mazhab ketiga dan yang paling kritis adalah Mazhab Alternatif dengan pionernya Timur Kuran dan Muhammad Arif. Aliran ketiga ini mengajak umat Islam untuk bersikap kritis tidak saja terhadap kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam yang saat ini berkembang. Menurut pendapatnya Islam pasti benar. Akan tetapi ekonomi Islam belum tentu benar sebab ia hanya merupakan interpretasi manusia terhadap ajaran Islam.

Adanya perbedaan mazhab pemikiran kontemporer tersebut, menurut penulis menunjukkan bahwa ekonomi Islam adalah dinamis dan di kemudian hari mampu mewujud dalam pengertiannya sebagai sebuah sistem (Islamic Economic as a System) dan bukan hanya definisinya sebagai sebuah ilmu (as a Science).

Pengembangan Teori
Dalam hal pengembangan ekonomi Islam yang bersifat akademis-teoritis, Islam memiliki paradigma tersendiri. Pertama, isu-isu dan masalah hangat yang sedang dihadapi didekati dengan melihat pengalaman-pengalaman ekonomi (behavior) negara Muslim masa silam dengan segala khazanahnya. Tidak cukup dengan itu, masalah yang ada kemudian dianalisis dengan pendekatan ekonomi kontemporer dengan tools analysis modern.

Setelah menghasilkan postulat-postulat, aksioma dan teori-teori ekonomi Islam hasil pengalaman empiris, kemudian ‘ditelurkan’ menjadi bentuk institusi-institusi dan kebijakan negara yang sifatnya makro dan terintegrasi. Ketika terdapat kekurangan dan ketaksempurnaan, dilakukanlah feedback (baca: evaluasi) sehingga dalam jangka panjang model-model yang tadi telah dihasilkan akan menjadi lebih sempurna, establish dan relatif dapat diaplikasikan pada sebanyak-banyaknya tempat dan waktu.

(Dimuat pada Majalah Gontor, Tahun 2010)


Klik suka di bawah ini ya