Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa keharaman bunga bank konvensional. Menurut ketuanya, Ma’ruf Amin, fatwa itu dikeluarkan sebagai penegas terhadap fatwa keharaman bunga bank yang pernah dikeluarkan MUI pada 2000. Ada dua alasan yang mendasari rencana fatwa tersebut. Pertama, karena saat ini umat Islam sudah memiliki alternatif menyimpan uang di perbankan syariah. Kedua, fatwa itu keluar juga karena desakan dari masyarakat, terutama kalangan perbankan syariah.
Pertimbangan itu sekilas tampak punya logika mendasar, sebab jika fatwa keharaman bunga bank tersebut dikeluarkan dalam situasi di mana sarana perbankan syariah belum tersedia, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Karena itu, ketika sekarang bank syariah sudah semakin banyak, maka MUI beranggapan fatwa sudah saatnya dikeluarkan.
Mengenai desakan kalangan perbankan syariah yang diklaim merepresentasikan umat Islam oleh MUI juga menjadi satu alasan yang kuat. Sebab bagaimana pun MUI yang notabene ’representasi’ masyarakat muslim memang harus menjadi bagian dari kepentingan umatnya.
Tapi jika kita mau sedikit jeli, alasan MUI di atas hanya tepat dijadikan tahkim (penghakiman) ketika bunga bank adalah riba. Sementara kita ketahui status hukum mengenai bunga bank itu sendiri dalam Islam tidak mutlak keharamananya.
Ada sebagian yang mengatakan halal karena bunga bank tidak termasuk riba, tapi ada pula yang mengatakan hukumnya subhat. Dua organisasi massa Islam di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, tidak memiliki ketetapan hukum. Lalu, mengapa MUI memilih jalan kontroversi ini sebagai pilihannya?
Objek potensial
Keberadaan bank syariah itu sendiri masih dikatakan sedikit dibandingkan dengan bank konvensional. Arus dana yang masuk masih diperkirakan hanya 0,44% dari keseluruhan arus dana perbankan konvensional di Indonesia.
Tetapi, karena bank syariah sekarang dianggap memiliki potensi pasar, maka tidak tertutup kemungkinan para pelaku bisnis perbankan menjadikan umat Islam sebagai objek bisnis potensial.
Ada asumsi bahwa sistem bagi hasil itu sendiri lebih menguntungkan perbankan syariah ketimbang sistem bunga. Sebab, dengan sistem bagi hasil, perbankan tidak terbebani membayar bunga kepada para nasabah yang menabung.
Kalau pun perbankan punya kewajiban membagi hasil dalam setiap tahun, misalnya, ketentuan pembagian hasil itu tidak diketahui secara pasti oleh para nasabahnya. Selain itu selama dalam setahun uang nasabah tersimpan, dipastikan akan dimanfaatkan oleh perbankan syariah untuk diputar di bank konvensional. Ini bisa dilihat di counter bank syariah yang didirikan oleh perbankan konvensional, seperti Bank Syariah Danamon, Syariah BRI, dll. Dengan demikian pertanyaannya, dari mana bank syariah (terutama yang kedudukannya di bawah bank konvensional) bisa mengatakan sebagai bank Islam sementara arus uang nasabah dikelola seperti bank konvensional?
Karena itu, sungguh aneh jika keinginan kalangan perbankan syariah ngotot mengatakan sistem bagi hasil sebagai representasi hukum Islam, tetapi ternyata pengelolaannya tetap tidak beranjak dari sistem keuangan kapitalisme yang diharamkan.
Dalam konteks inilah kita melihat kepentingan fatwa itu muncul. Ada semacam kecocokan kepentingan antara pelaku perbankan syariah, Bank Indonesia, dan ulama-ulama yang berada di MUI. Di satu sisi perbankan syariah dan BI melihat sisi pasar potensial pada umat Islam, di pihak lain MUI punya ’dalil’ untuk melegitimasi para peminta fatwa itu.
Karena itu, logis jika para kritikus melihat bahwa MUI-dalam soal fatwa ini-lebih mengedepankan kepentingan bisnis ketimbang misi agama. Tetapi kenyataan yang demikian ini sebenarnya tidak mengagetkan. Sebab ketika setiap ajaran agama atau ideologi bersetubuh dengan birokasi negara, maka dengan sendirinya visi dan misi asli ajaran itu terdistorsi. Rasionalitas agama yang ideal menjadi rasionalitas birokrasi yang nota bene adalah mesin ’kepentingan’ manusia-manusia yang berada di dalamnya.
Sengaja penulis tidak memilih masuk dalam perdebatan studi hukum halal-haramnya bunga bank. Sebab jika perdebatan memasuki ke arah ini, biasanya akan cenderung mengarah pada debat kusir. Bagi mereka yang mengharamkan akan mencari-cari legitimasi keharaman. Demikian juga sebaliknya yang menghalalkan. Karena itu, untuk soal ini penulis memilih sikap toleran kepada mereka yang menghalalkan bunga, atau yang mengharamkannya.
Yang tidak bisa ditoleransi adalah jika tahkim (penghakiman) itu dipaksakan kepada masyarakat luas sementara status hukumnya sendiri masih tidak mutlak keharamannya. Tidak mustahil jika para nasabah bank konvensional ini akan tertekan secara psikologis karena dianggap memakan riba. Demikian pula, para karyawan bank konvensional yang mayoritas beragama Islam akan merasakan bagaimana pahitnya menjadi karyawan yang setiap hari bergelut dengan keharaman.
Ada baiknya jika kompetisi dalam dunia perbankan dibiarkan bebas tanpa harus menakut-nakuti umat Islam dengan cara mengharamkan ’sesuatu yang belum jelas.’ Ada baiknya jika MUI kini berpikir lebih mendasar mengenai ’halal-haramnya’ perekonomian kapitalisme neo-liberal. Atau mungkin juga mengeluarkan fatwa haramnya kebijakan pemerintah jika menggusur rakyat miskin tanpa memberikan jaminan tempat tinggal.
Di negeri ini berbagai persoalan mendasar seperti ketimpangan sosial-ekonomi, kejahatan KKN para pejabat negara, kebodohan, dan keterbelakangan adalah sesuatu hal yang sangat penting untuk dipersoalkan. MUI, bicaralah halal-haram untuk itu semua!
Oleh: Faiz Manshur (Bisnis Indonesia)