Dua orang guru besar ekonomi, Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, menerbitkan buku mereka yang berjudul This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly. Buku ini mendokumentasikan dinamika perekonomian dunia di 66 negara dan lima benua dalam periode 800 tahun.
Mereka menemukan pola yang selalu berulang. Ketika perekonomian baru pulih dari krisis, pertumbuhan yang cepat memberikan optimisme yang mendorong negara-negara meningkatkan utangnya, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Pertumbuhan bertambah cepat, optimisme mulai berlebihan, utang lebih banyak lagi, dan akhirnya melebihi kemampuan membayar, lalu terancam gagal bayar yang memicu ledakan krisis ekonomi.
Pola ini selalu berulang di negara maju ataupun negara berkembang. Setiap kali pola ini akan berulang, setiap kali itu pula para ekonom mengatakan, This time is different. “Kali ini berbeda situasinya, fundamental ekonomi kita kuat.” Sampai akhirnya, krisis berikutnya benar-benar terjadi.
Yunani merupakan contoh terkini dari pola krisis ini. Yunani adalah negara dengan perekonomian terbesar ke-27 di dunia dengan populasi hanya 11,2 juta orang dan GDP 360 miliar dolar AS. Negara ini ditopang oleh dua industri utama, yaitu pelayaran maritim dan pariwisata.
Hampir semua negara Eropa mengalami periode pertumbuhan cepat pada periode 1999-2001 dan 2005-2007 yang diselingi oleh periode pertumbuhan lambat pada periode 2002-2004 dan 2008-2009. Pada periode pertumbuhan cepat, optimisme telah mendorong naiknya pinjaman besar-besaran. Pemerintah meningkatkan program kesejahteraan bagi warganya. Swasta melakukan ekspansi bisnis. Nilai mata uang euro menguat.
Ketika krisis melanda AS, dua industri utama Yunani terpukul. Jumlah turis menurun, pelayaran maritim menurun, investasi di kedua industri tersebut menurun, harga saham menurun, kredit bank mulai dibatasi, dan suku bunga meningkat.
Perekonomian mulai masuk ke dalam fase resesi, pendapatan pemerintah menurun, pengeluaran pemerintah untuk program kesejahteraan meningkat. Lebih parahnya lagi, bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas terpaksa diselamatkan pemerintah.
Alessandri dan Haldane, dua ekonom untuk bank sentral Inggris, Bank of England, mengamati adanya kontrak sosial yang tidak tertulis dalam berbagai formatnya untuk selalu menyelamatkan bank yang mengalami kesulitan. "When the bank win they keep the profits, when the banks lose the state takes the losses" (ketika bank untung, keuntungan buat mereka; ketika bank rugi, negara yang menanggulangi).
Saat ini, Yunani memiliki utang lebih besar dari GDP-nya, 113 persen dari GDP, terbesar di dunia. Utang luar negeri neto mencapai 70 persen dari GDP. Defisit neraca perdagangan yang besar, 11 persen dari GDP. Defisit anggaran belanja negara 12,9 persen dari GDP yang juga terbesar di dunia.
Jika Yunani gagal membayar utang-utangnya, ia menjadi utang luar negeri gagal bayar terbesar sepanjang sejarah. Lebih besar dari gabungan utang luar negeri gagal bayar Rusia dan Argentina. Ketika sebagian kecil ekonom mengingatkan berulangnya pola krisis di Yunani, pemerintah menjawabnya, This time is different.
Indonesia saat ini berada pada fase baru pulih dari krisis, pertumbuhan meningkat cepat, pemerintah menerbitkan surat utang yang mendapat respons baik di pasar, swasta mulai ekspansi bisnis dan menerbitkan surat utang baru, serta investasi mulai mengalir masuk. Semua variabel makroekonomi menunjukkan menguatnya fundamental ekonomi. Bahkan, Indonesia diharapkan menjadi lokomotif bangkitnya ekonomi Asia bersama Cina dan India.
Kisah krisis Yunani terjadi berulang-ulang selama 800 tahun di 66 negara. Begitu setidaknya menurut temuan Reinhart dan Rogoff. Namun, setiap kali sebelum krisis benar-benar terjadi, pemerintah dan para ekonom yang sependapat dengan pemerintah selalu mengatakan, This time is different.
Penerbitan sukuk negara sebagai alternatif surat utang negara tentu sangat baik bagi perekonomian. Namun, bila penerbitan sukuk negara sebagai tambahan surat utang negara dan jumlahnya melebihi kemampuan negara membayarnya, jangan harap this time is different. Dubai merupakan contoh bahwa sukuk yang halal pun dapat saja gagal bayar.
Riba jelas haram. Meminjam melebihi kemampuan membayar sehingga terjerat utang yang tidak mampu dibayar, kecuali dengan utang baru, juga jelas harus dihindari. Bahkan, Rasulullah SAW mengajarkan doa, "Ya, Allah, lindungi kami dari utang yang memberatkan." Jelas yang dimaksud dalam doa ini adalah utang yang bebas riba, tapi Rasul SAW tetap mengingatkan bahayanya utang yang berlebihan.
Indonesia memang bukan Yunani. Salah satu keberhasilan Indonesia adalah mengelola utang-utang negara. Yang juga harus tetap diwaspadai adalah membengkaknya utang swasta, apalagi bila kemudian harus menjadi tanggungan negara. Temuan Alessandri dan Haldane sangat terasa relevansinya dengan kasus Bank Century di Indonesia.
Ketika bank kecil itu di ambang kebangkrutan dan terjadi pada saat dampak krisis di AS diantisipasi akan berimbas pada Indonesia, pemerintah akhirnya memutuskan menyelamatkan bank kecil itu. Industri perbankan seakan menjadi pintu belakang sektor swasta meminjam. Bila gagal, mereka meminta pemerintah menanggulanginya. Alessandri dan Haldane menghitung jumlah bantuan yang diberikan oleh Pemerintah AS, Inggris, dan Uni Eropa untuk menyelamatkan industri ini mencapai 14 triliun dolar AS setara dengan 25 persen GDP dunia.
Ketika industri perbankan Indonesia banyak dikuasai asing, bila kita tidak waspada, ini dapat menjadi pintu belakang swasta asing meminjam. Bila gagal, pemerintah yang menanggulanginya. Calon menteri keuangan dan calon gubernur BI tentu lebih paham akan hal ini. This time is not different.
Oleh Adiwarman A Karim
Sumber: Republika Online
Pola ini selalu berulang di negara maju ataupun negara berkembang. Setiap kali pola ini akan berulang, setiap kali itu pula para ekonom mengatakan, This time is different. “Kali ini berbeda situasinya, fundamental ekonomi kita kuat.” Sampai akhirnya, krisis berikutnya benar-benar terjadi.
Yunani merupakan contoh terkini dari pola krisis ini. Yunani adalah negara dengan perekonomian terbesar ke-27 di dunia dengan populasi hanya 11,2 juta orang dan GDP 360 miliar dolar AS. Negara ini ditopang oleh dua industri utama, yaitu pelayaran maritim dan pariwisata.
Hampir semua negara Eropa mengalami periode pertumbuhan cepat pada periode 1999-2001 dan 2005-2007 yang diselingi oleh periode pertumbuhan lambat pada periode 2002-2004 dan 2008-2009. Pada periode pertumbuhan cepat, optimisme telah mendorong naiknya pinjaman besar-besaran. Pemerintah meningkatkan program kesejahteraan bagi warganya. Swasta melakukan ekspansi bisnis. Nilai mata uang euro menguat.
Ketika krisis melanda AS, dua industri utama Yunani terpukul. Jumlah turis menurun, pelayaran maritim menurun, investasi di kedua industri tersebut menurun, harga saham menurun, kredit bank mulai dibatasi, dan suku bunga meningkat.
Perekonomian mulai masuk ke dalam fase resesi, pendapatan pemerintah menurun, pengeluaran pemerintah untuk program kesejahteraan meningkat. Lebih parahnya lagi, bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas terpaksa diselamatkan pemerintah.
Alessandri dan Haldane, dua ekonom untuk bank sentral Inggris, Bank of England, mengamati adanya kontrak sosial yang tidak tertulis dalam berbagai formatnya untuk selalu menyelamatkan bank yang mengalami kesulitan. "When the bank win they keep the profits, when the banks lose the state takes the losses" (ketika bank untung, keuntungan buat mereka; ketika bank rugi, negara yang menanggulangi).
Saat ini, Yunani memiliki utang lebih besar dari GDP-nya, 113 persen dari GDP, terbesar di dunia. Utang luar negeri neto mencapai 70 persen dari GDP. Defisit neraca perdagangan yang besar, 11 persen dari GDP. Defisit anggaran belanja negara 12,9 persen dari GDP yang juga terbesar di dunia.
Jika Yunani gagal membayar utang-utangnya, ia menjadi utang luar negeri gagal bayar terbesar sepanjang sejarah. Lebih besar dari gabungan utang luar negeri gagal bayar Rusia dan Argentina. Ketika sebagian kecil ekonom mengingatkan berulangnya pola krisis di Yunani, pemerintah menjawabnya, This time is different.
Indonesia saat ini berada pada fase baru pulih dari krisis, pertumbuhan meningkat cepat, pemerintah menerbitkan surat utang yang mendapat respons baik di pasar, swasta mulai ekspansi bisnis dan menerbitkan surat utang baru, serta investasi mulai mengalir masuk. Semua variabel makroekonomi menunjukkan menguatnya fundamental ekonomi. Bahkan, Indonesia diharapkan menjadi lokomotif bangkitnya ekonomi Asia bersama Cina dan India.
Kisah krisis Yunani terjadi berulang-ulang selama 800 tahun di 66 negara. Begitu setidaknya menurut temuan Reinhart dan Rogoff. Namun, setiap kali sebelum krisis benar-benar terjadi, pemerintah dan para ekonom yang sependapat dengan pemerintah selalu mengatakan, This time is different.
Penerbitan sukuk negara sebagai alternatif surat utang negara tentu sangat baik bagi perekonomian. Namun, bila penerbitan sukuk negara sebagai tambahan surat utang negara dan jumlahnya melebihi kemampuan negara membayarnya, jangan harap this time is different. Dubai merupakan contoh bahwa sukuk yang halal pun dapat saja gagal bayar.
Riba jelas haram. Meminjam melebihi kemampuan membayar sehingga terjerat utang yang tidak mampu dibayar, kecuali dengan utang baru, juga jelas harus dihindari. Bahkan, Rasulullah SAW mengajarkan doa, "Ya, Allah, lindungi kami dari utang yang memberatkan." Jelas yang dimaksud dalam doa ini adalah utang yang bebas riba, tapi Rasul SAW tetap mengingatkan bahayanya utang yang berlebihan.
Indonesia memang bukan Yunani. Salah satu keberhasilan Indonesia adalah mengelola utang-utang negara. Yang juga harus tetap diwaspadai adalah membengkaknya utang swasta, apalagi bila kemudian harus menjadi tanggungan negara. Temuan Alessandri dan Haldane sangat terasa relevansinya dengan kasus Bank Century di Indonesia.
Ketika bank kecil itu di ambang kebangkrutan dan terjadi pada saat dampak krisis di AS diantisipasi akan berimbas pada Indonesia, pemerintah akhirnya memutuskan menyelamatkan bank kecil itu. Industri perbankan seakan menjadi pintu belakang sektor swasta meminjam. Bila gagal, mereka meminta pemerintah menanggulanginya. Alessandri dan Haldane menghitung jumlah bantuan yang diberikan oleh Pemerintah AS, Inggris, dan Uni Eropa untuk menyelamatkan industri ini mencapai 14 triliun dolar AS setara dengan 25 persen GDP dunia.
Ketika industri perbankan Indonesia banyak dikuasai asing, bila kita tidak waspada, ini dapat menjadi pintu belakang swasta asing meminjam. Bila gagal, pemerintah yang menanggulanginya. Calon menteri keuangan dan calon gubernur BI tentu lebih paham akan hal ini. This time is not different.
Oleh Adiwarman A Karim
Sumber: Republika Online