Analisis Sistem Kredit Dana P2KP dalam Perspektif Syari’ah

Realitas yang terjadi dalam sistem kredit dana P2KP yang diberikan pemerintah berupa dana pinjaman produktif yang mengharuskan adanya pengembalian yang disertai dengan bunga. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem yang digunakan pada hampir setiap penerima dana P2KP dalam transaksi kreditnya adalah sistem bunga. Hal ini dilakukan karena ketentuan JUKLAK dari P2KP pusat yang mengatur demikian. Dalam JUKLAK ini telah ditentukan bahwa penyediaan pinjaman untuk kegiatan pengembangan usaha mikro (usaha kecil dan menengah) yang ada pada wilayah di mana BKM berada, mengharuskan pengembalian dengan bunga.

Sistem bunga dalam khazanah fiqh baik klasik maupun modern masih menjamdi perdebatan panjang di antara para pakar. Banyak pakar hukum Islam yang mengharamkan bunga dengan alasan bunga sama dengan riba yang diharamkan oleh Allah. Namun ada juga beberapa pakar yang membolehkan bunga dengan alasan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Ketidaksamaan bunga dengan riba ini dijelaskan sedemikian rupa sehingga ditemukan rumusan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Begitu juga sebaliknya, para pakar yang menyamakan juga menjelaskan kesamaan-kesamaannya.

Sebelum dilakukan analisis berdasarkan hukum Islam terhadap sistem kredit dengan menggunakan bunga ini, perlu kiranya disampaikan terlebih dahulu lata belakang munculnya sistem bunga. Pendeskripsian historisitas sistem bunga ini dirasa pengting guna menemukan pandangan yang komprehensip terhadanya dari sudut pandang hukum Islam.
Sistem bunga pada awalnya bermula dari pedagang emas yang memberikan pinjaman pada masyarakat. Saat terjadi kesulitan perekonomian sekitar abad ke-16 dan ke-17, masyarakat sangat membutuhkan pinjaman dana secara besar-besaran. Oleh sebab itu, hanya pemilik emas lah yang dapat memenuhinya. Secara umum revolusi perdagangan dalam abad ke-16 dan ke-17, akibat perkembangan sistem perdagangan di Amerika Serikat dan lalu lintas laut, telah menjadi sebab bagi timbulnya Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri ini kemudian memberikan suatu dorongan untuk menimbun kekayaan dan mengembangkan per-dagangan dalam dan luar negeri. Hal ini menimbul-kan suatu era baru bagi sistem urusan bank yang menyebabkan timbulnya kesadaran untuk saling bergantung antar negara dalam hal mendapatkan bahan baku dan pasar perdagangan. Bank modern membuka hubungan dengan negara-negara yang terpencil agar saling berhubungan dengan negara-negara lainnya di dunia. Dari sinilah dimuali usaha perbankan dengan sistem bunga (Muslehuddin, 1990: 6).

Pada saat selanjutnya, pedagang dan pemilik emas yang memberikan pinjaman pada pengusaha dan masyarakat luas ini menjadi pelopor lahirnya bank modern di Inggeris. Secara singkat, sejarah mencatat bahwa sewaktu angkatan bersenjata dan simpatisan pemerintah bertempur dalam perang saudara di Inggris, masyarakat umum terpaksa menyimpan barang-barang mereka kepada para tukang emas, yang memiliki peti besi dan sistem keamanan lainnya. Praktik-praktik ini telah menambah jumlah pelanggan mereka, kemudian para saudagar juga banyak memakai jasa tukang emas dalam menyimpan uang mereka dengan memberikan komisi atas jasa tersebut. Akhirnya tukang emas tersebut menggunakan simpanan tersebut untuk kepentingan diskonto jangka pendek yang mendorong lahirnya sistem bank di Inggris sekitar tahun 1642 sampai tahun 1645 (Muslehuddin, 1990: 6-7).

Tukang emas mengeluarkan kuitansi kepada setiap para peminjam. Kuitansi ini digunakan untuk membayar kembali pinjamannya, ini permulaan para pedagang emas meleburkan diri dalam urusan perbankan, kemudian menjadi pengusaha bank yang profesional. Mereka mulai menggunakan buku catatan yang dipegang para peminjam yang diguna-kan untuk mengambil kembali simpanan mereka pada pengusaha bank berdasarkan catatan tersebut. Ini awal penggunaan cek yang berkembang maju sehingga mencapai taraf kesempurnaannya dewasa ini (Muslehuddin, 1990: 8).

Menurut hemat penulis, sistem bunga yang dianut dalam pemberian kredit dana P2KP BKM Kusuma Mandiri Mranggen tidak sama dengan sistem riba yang dilarang dalam hukum Islam. Oleh sebab itu penggunaan sistem semacam ini hukumnya mubah (boleh dilakukan). Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut;

Secara yuridis, ketentuan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara umum tidak ada yang melarang penggunaan sistem bunga dalam transaksi pendanaan dan simpanan dana di lembaga keuangan. Melihat hal ini, walaupun BKM tidak seutuhnya lembaga keuangan namun pemberian kredit merupakan transaksi keuangan yang lazim dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, maka keberadaan BKM juga layak dipandang sebagai lembaga keuangan dalam sisi yang berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. Oleh sebab itu, pemberlakuan sistem bunga dalam pemberian kredit dana P2KP ini tidak menjadi persoalan yang bertentangan dengan ketentuan yuridis perundang-undangan, khususnya di Indonesia. Bahkan sebaliknya, jika dirunut ulang pada ketentuan JUKLAK P2KP yang merupakan ketentuan pemerintah dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah dan juga Keputusan Presiden, yang menentukan bahwa pemberian pinjaman dapat dilakukan dengan sistem bunga yang dibatasi jumlah minimumnya saja. Oleh sebab itu, dari sini sangat jelas bahwa penggunaan sistem bunga ini tidak bertentangan sama sekali dengan ketentuan perundangn-undangan. Bahkan sebaliknya merupakan ketentuan dan telah ditetapkan batas minimunya, yaitu 1,5%.

Secara normatif, sistem bunga tidak selamanya sama dengan sistem riba. Hal ini didukung oleh berbagai pendapat yang membolehkan bunga. Selain itu, berdasarkan kajian penentuan hukum Islam, alasan (illat) dilarangnya riba adalah karena unsur dzulm yang melekat di dalamnya (Zein, 2002: 177). Sedangkan secara riil, sistem bunga yang dianut BKM Kusuma Mandiri Mranggen ini tidak mengandung unsur dzulm sama sekali, bahkan sebaliknya justru mendatangkan manfaat yang besar. Selain itu, riba yang dilarang dalam Islam adalah riba nasyi’ah dan sistem bunga ini tidak selamanya sama dengan riba nasyi’ah (Zein, 2002: 176). Selain itu, sesuai dengan karakteristik hukum Islam yang fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan sosio kultural masyarakat di mana hukum Islam itu berlaku, maka adanya hukum Islam yang lebih aplikatif dalam masyarakat mutlak diperlukan (Mahfudh, 2003:xliii). Untuk membangun hal ini, maka pembentukan hukum yang didasarkan pada salah satu basis teori penemuan hukum Islam seperti maqashid as-syari’ah juga menemukan urgensi tersendiri. Salah satu cita-cita yang terkandung dalam maqashid as-syari’ah ini adalah terbangunnya nilai luhur agama Islam yaitu rahmatan li al-alamin. Selain itu, karena konsep ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa tidak mungkin, Tuhan menentukan suatu hukum bagi manusia kecuali ada tujuan tertentu (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 52).

Secara sosiologis, sistem bunga yang umum berlaku di masyarakat tidak semuanya merugikan masyarakat sehingga mereka menolaknya. Sampai saat ini, masyarakat sebagai entitas sosial masih banyak yang menerima diberlakukannya sistem bunga ini. Buktinya adalah masih banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa dan pelayanan bank berbasis bunga (bank konvensional). Selain itu, penggunaan sistem bunga oleh bank yang diikuti masyarakat ini masih mendapatkan posisi karena sistem bunga tidak selalu didasarkan pada pencapaian keuntungan sehingga akan selalu konstan, melainkan bunga juga berubah-ubah yang disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti likuiditas masyarakat, ekspektasi inflasi, besarnya suku bunga luar negeri, dan ekspektasi perubahan nilai tukar dan premi atas resiko (Zein, 2002: 175).

oleh: Imam Muttaqien, BMT Al-Ikhlas Yogyakarta

Klik suka di bawah ini ya