Hukum Lelang dan Tender

Oleh: Setiawan Budi Utomo

Syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin memberikan kebebasan, keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam. Tentu saja kegiatan usaha itu diniatkan dalam rangka mencari karunia Allah berupa rezeki yang halal, melalui berbagai bentuk transaksi saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.(QS.An-Nisa’:29, Al-Mulk:15)

Oleh karena itu sebelum memutuskan hukum syariah tentang lelang yang merupakan salah satu bentuk muamalah, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai ihwalnya. Lelang (auction) menurut pengertian transaksi muamalah kontemporer dikenal sebagai bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi, sebagaimana lelang ala Belanda (Dutch Auction) dan disebut (lelang naik).


Di samping itu, lelang juga dapat berupa penawaran barang, yang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa si penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham di bursa efek, yakni penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi kesepakatan.

Pasar lelang (auction market) sendiri didefinisikan sebagai suatu pasar terorganisir, di mana harga menyesuaikan diri terus menerus terhadap penawaran dan permintaan, serta biasanya dengan barang dagangan standar, jumlah penjual dan pembeli cukup besar dan tidak saling mengenal. Menurut ketentuan yang berlaku di pasar tersebut, pelaksanaan lelang dapat menggunakan persyaratan tertentu seperti si penjual dapat menolak tawaran yang dianggapnya terlalu rendah yaitu dengan memakai batas harga terendah/cadangan (reservation price) atau harga bantingan (upset price). Tujuannya untuk mencegah adanya trik-trik kotor berupa komplotan lelang (auction ring) dan komplotan penawar (bidder’s ring) yaitu sekelompok pembeli dalam lelang yang bersekongkol untuk menawar dengan harga rendah, dan jika berhasil kemudian dilelang sendiri di antara mereka. Penawaran curang seperti itu disebut penawaran cincai (collusive bidding/ collusive tendering). Adapun dalam kasus barang sitaan dalam kasus kepailitan atau lainnya, pembatasan harga terendah dilakukan untuk mencegah permainan curang antara pemilik barang dan pembeli. (Friedman dalam Dictionary of Business Terms, 1987, An-Nawawi, Al-Majmu’, XII/304).

Sedangkan tender juga memiliki makna penawaran yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untu memperoleh persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi suatu utang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa, melalui proses penawaran terbuka (open tender). Dalam proses itu, para peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup (sealed tender) yakni penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi.

Tender juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek, yakni dengan cara pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai. Biasanya yang sering terjadi penyimpangan dalam tender di antaranya berupa penawaran cincai/kolusi (collusive tendering) dengan praktik sogok dan atau cara lainnya yang tidak sehat untuk memenangkan penawaran/tendernya.

Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan jual beli barang/ jasa yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut sebagai akad Bai’ Muzayadah. (Ibnu Juzzi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, 290, Majduddin Ibnu Taimiyah, Muntaqal Akhbar, V/101) Praktik lelang (muzayadah) dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi SAW, ketika didatangi oleh seorang sahabat dari kalangan anshar meminta sedekah kepadanya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah di rumahmu ada suatu aset/barang?” Sahabat tadi menjawab bahwa ia memiliki sebuah hils (kain usang) yang dipakainya sebagai selimut sekaligus alas dan sebuah qi’b (cangkir besar dari kayu) yang dipakai minum air. Lalu beliau menyuruhnya mengambil kedua barang tersebut. Ketika ia menyerahkannya kepada Nabi, beliau mengambilnya lalu menawarkannya: “Siapakah yang berminat membeli kedua barang ini?” Lalu seseorang menawar keduanya dengan harga satu dirham. Maka beliau mulai meningkatkan penawarannya: “Siapakah yang mau menambahkannya lagi dengan satu dirham?” lalu berkatalah penawar lain: “Saya membelinya dengan harga dua dirham” Kemudian Nabi menyerahkan barang tersebut kepadanya dan memberikan dua dirham hasil lelang kepada sahabat anshar tadi.(HR.Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah) Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan lainnya meriwayatkan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya, demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli. (Al-Mughni, VI/307, Ibnu Hazm, Al-Muhalla, IX/468) Pendapat ini dianut seluruh madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali serta Dzahiri.

Meskipun demikian, ada pula sebagian kecil ulama yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, II/165, Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/191) Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik riba, meskipun ia dinamakan bai’ muzayadah, dari kata ziyadah yang bermakna tambahan sebagaimana makna riba. Namun pengertian tambahan di sini berbeda. Dalam bai’ muzayadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih dalam akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan oleh pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam praktik riba, tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang diperjanjikan di muka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya. Adapun praktik penawaran barang/jasa di atas penawaran orang lain -- sebagaimana dilarang oleh Nabi saw. dengan sabdanya: “Janganlah menawar sesuatu yang sudah ditawar orang lain dan jangan meminang pinangan orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim) -- tidak dapat dikategorikan dalam jual-beli lelang ini sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zaila’i dalam Tabyin Al-Haqaiq (IV/67).

Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya.

Kedua, bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama. Kasus ini dianalogikan dari hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

Ketiga, bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain. Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati.

Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya: 1) Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin), 2) Objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat, 3) Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual, 4) Kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau ditenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya 5) Kesanggupan penyerahan barang dari penjual, 6) Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan. 7) Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan tender dan tawaran.

Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam praktik najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi SAW (HR. Bukhari dan Muslim), atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun servis untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa hukum profesi juru lelang dan bekerja di balai lelang diperbolehkan dalam Islam, selama memenuhi kriteria umum yang digariskan syariatnya seperti di atas.

Sumber: Modal Online.com

Klik suka di bawah ini ya