ZAKAT PERUSAHAAN MENURUT HUKUM ISLAM


Agustianto
Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana PSTTI UI, IEF Trisakti, dan Univ.Paramadina

Perkembangan perekonomian di zaman modern saat ini, sungguh berbeda dengan kondisi seribuan tahun yang lalu. Perkembangan pola kegiatan ekonomi kontemporar sangat variatif dan distinctif dengan corak dan pola kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Meskipun demikian, substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Saat ini bentuk dan jenis mata pencarian manusia bermacam-macam, seperti, konsultan, pengacara, jaksa, arsitek, banker, dokter, designer, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya. Jenis usaha manusia juga bermacam-macam.
Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati. Jika di masa Rasulullah harta yang dizakati terbatas kepada lima macam, yakni
1.Emas perak,
2.Harta perdagangan,
3.Hewan ternak,
4.Pertanian dan
5.Rikaz,

maka di zaman sekarang bentuk dan jenisnya makin luas.
Berkaitan dengan perintah zakat, Al-Qur’an menyebutkan dengan kata-kata “Amwaalihim”, yakni segala macam harta (Q.S. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakni segala macam usaha yang halal (Q.S. 2:267).
Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof.Dr.Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9 katagori:
1. Zakat binatang ternak,
2. Zakat emas dan perak,
3. Zakat kekayaan dagang,
4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian,
5. Zakat madu dan produksi hewani,
6. Zakat barang tambang dan hasil laut,
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll.
8. Zakat pencarian jasa dan profesi,
9. Zakat saham dan obligasi.

Kaedah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (Q.S. 9:103 dan 2:267), juga berpegang pada syaraf harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang.
Karena itu harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter, pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaris, pegawai negeri, TNI, dsb.

Zakat Perusahaan
Para ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan trading atau perdagangan.
Dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik………..”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka…….
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “……Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah hukmiayah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik.
Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiayah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.

Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”.
Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Oleh karena zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram.
“Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Berdasarkan kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah.
Yang termasuk kepada aktiva lancar ialah :
1. Kas,
2. Bank (setelah disisihkan unsur bunga),
3. Surat berharga (dengan nilai sebesar harga pasar),
4. Piutang (yakni yang mungkin bisa ditagih),
5. Persediaan, baik yang ada digudang, di show room, di perjalanan di distributor dalam bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses atau masih bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar.
Sabda Nabi “Nilailah dengan harga pada hari jatuhnya kewajiban zakat, kemudian keluarkan zakatnya” (Abu ‘Ubaid bin Salam Al-Amwal).
Sedangkan yang termasuk kewajiban lancar ialah:
1. Hutang usahan,
2. Wesel bayar,
3. Hutang pajak,
4. Biaya yang masih harus dibayar,
5. Pendapatan diterima dimuka,
6. Hutang bank (hutang bunga tidak termasuk) dan
7. Hutang jangka panjang yang jatuh tempo.

Jadi untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat dari sebuah perusahaan, ialah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Metode syari’iy di atas digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya. (Agustianto)
Tulisan ini sudah pernah dipublish 10 Desember 1999 di Harian Mimbar Umum Medan

Klik suka di bawah ini ya