Pengalaman Pemerintah Malaysia dalam Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah

PENGALAMAN PEMERINTAH MALAYSIA DALAM MENGEMBANGKAN LEMBAGA KEWANGAN SYARIAH
Pembicara: Prof. Dr. Saiful Azhar Rosly – Director of Research Malaysian Institute of Economic Research (MEIR)

Pembangunan ekonomi Malaysia sejak tahun 1970 bertujuan untuk memberantas kemiskinan melalui berbagai program. Pengembangan ekonomi dan perbankan Islam ikut peran dalam memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan pendapatan, mengurangi pengangguran, dan mengontrol inflasi. Tingkat kemiskinan turun drastis dari 49,3% di tahun 1970 menjadi hanya 1,1% di tahun 2005.
Sistem keuangan dan perbankan Islam Malaysia telah berevolusi dan berkembang sesuai yang direncanakan. Tahap pertama adalah membangun pasar, pelaku, dan produk (1980 – 1994), dengan UU Perbankan Islam dan pendirian BIMB (1983), UU Takaful (1984), memperkenalkan Islamic windows (1993), dan membuka pasar uang antarbank syariah (1994). Tahap kedua adalah membangun infrastruktur industri (1990-an – sekarang), dengan pendirian National Syariah Supervisory Council (1997), menjadi kantor pusat IFSB dan IIFM (2002), menjadi kantor pusat IIRA (2003), dan mendorong transformasi Islamic windows menjadi subsidiary (2005). Sementara itu, tahap ketiga adalah pertumbuhan industri (kedepan), dengan pengembangan produk, harmonisasi ketentuan syariah, pengembangan dan penetrasi pasar, dan pengembangan pasar modal syariah. Saat ini lembaga keuangan dan pasar syariah di Malaysia terdiri dari Islamic banks, Islamic unit trusts, Takaful, Islamic Equity Market, Islamic Bond Market, dan Islamic Money Market.
Prinsip dalam syariah adalah tidak ada keuntungan tanpa risiko dan tidak ada keuntungan tanpa tanggung jawab. Jadi, risiko, kerja keras, dan tanggung jawab harus tercermin dalam semua operasi bank syariah, termasuk dalam semua produk yang ditawarkan. Akad yang memenuhi ketentuan syariah, antara lain murabahah (sale at margin), mudharabah (trustee partnership), musyarakah (general partnership), istishna (sale by order), dan salam (sale by order). Sedangkan akad yang tidak memenuhi ketentuan syariah, antara lain Bai’ Bithaman Ajil/BBA (sale with deferred payments), Bai’ al-Inah (sale buy-back), Bai’ al-Dayn (debt sale), dan at-tawriq (buy sale-back).
Masalah di Malaysia timbul, pertama, karena Dewan Syariah berada di bank sentral (BNM), sehingga pendapat/fatwa yang dikeluarkan bukan merupakan konsensus dari seluruh fuqaha di Malaysia, dan kedua, karena pendekatan pragmatis yang diambil. Banyak produk-produk syariah yang ditawarkan menggunakan akad yang tidak memenuhi ketentuan syariah, seperti kredit konsumsi (BBA), Malaysian Sukuk, IABS (Islamic Asset Backed Securities), BAIDS, dan MuNif, yang berdasar Bai’ al-Dayn dan Bai’ al-Inah. Hal itu terjadi karena pengembangan produk di Malaysia selalu bercermin dari produk bank konvensional yang tidak selalu dapat di-syariah-kan. Kontroversi ini mestinya menjadi pelajaran untuk perbaikan. Untuk itu perlu kerjasama ulama Malaysia, Brunei, dan Indonesia untuk duduk bersama memecahkan masalah ini agar produk-produk syariah yang ditawarkan fully shariah compliance dan diterima di seluruh dunia.

TANYA JAWAB
Q: Apakah Dewan Syariah (DS) lebih baik di dalam atau di luar bank sentral. A: Dari sisi regulator DS lebih menguntungkan berada di dalam bank sentral karena masalah bank syariah merupakan masalah yang kompleks dan diperlukan respon yang cepat dan terintegrasi. Selain itu, karena bank sentral lebil credible di mata internasional, DS dapat duduk dalam dewan di LKS internasional, seperti IFSB atau IsDB. Dari sisi akademisi, yang penting adalah bahwa anggota DS mempunyai kompetensi di bidang syariah dan di bidang ekonomi/keuangan Islam. Namun, keberadaan DS di luar bank sentral memberikan landasan yang lebih kuat karena kedudukannya di tingkat nasional.
Q: Apakah Islamic subsidiary menggantikan Islamic windows. A: Bank Islam di Malaysia telah berevolusi dan telah mencapai critical mass melalui penerapan Islamic windows. Islamic subsidiary merupakan pilihan. Sekarang bank yang memiliki Islamic windows boleh mentransformasinya menjadi subsidiary agar lebih bebas dalam menjalankan usaha syariahnya, namun tetap share dalam infrastructure dan resources. Subsidiary lebih fleksibel dalam penerapan produk syariah karena berada dibawah UU Perbankan Syariah. Islamic windows lebih terbatas karena berada dibawah UU Perbankan konvensional. Sehingga, di Malaysia ada full fledged Islamic banks (nasional dan asing), Islamic subsidiary, dan Islamic windows.
Q: Apakah ada benchmark dalam pricing. A: Sekarang tidak ada lagi benchmark dalam pricing. Bank bebas menentukan harga sendiri yang bisa atas dasar biaya dana, atau atas dasar strategy bisnis, sehingga akan diketahui mana bank yang kompetitif dan yang tidak. Bank sentral, untuk transparansi, hanya akan mengumumkan semuanya untuk diketahui umum, sehingga mereka dapat window shopping. Namun, menurut pandangan pakar, pricing murabahah lebih mahal dari bunga bank konvensional dan menimbulkan masalah adverse selection. Penentuan cost of fund juga bermasalah karena mengacu pada cost of fund konvensional.
Q: Mengenai risiko struktural dalam murabahah, apakah pemerintah akan mengatur perilaku konsumen. A: Pemerintah tidak mengatur. Apabila suku bunga naik, maka konsumen diuntungkan dengan murabahah yang murah. Apabila suku bunga turun, maka bank diuntungkan dengan murabahah yang mahal. Hal ini terjadi karena kontrak tidak dapat diperbaharui.
RINGKASAN SEMINAR NASIONAL
STRATEGI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
15 SEPTEMBER 2005, MENARA RADIUS PRAWIRO LT.25
PPSK – BANK INDONESIA

Klik suka di bawah ini ya