Di akhir tahun 2006 telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional - Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang kartu kredit yang berbasis syariah (Syariah Card) bagi industri Perbankan Syariah, dimana kartu kredit yang terlebih dahulu diperkenalkan dalam dunia perbankan konvensional, untuk saat ini dirancang dapat digunakan bagi nasabah bank syariah untuk bertransaksi tanpa melakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai.
Fungsi uang sebagai alat pembayaran semakin tergantikan dengan penggunaan kartu plastik ini, hingga dalam transaksi tidak perlu lagi membawa setumpuk uang di tempat-tempat perbelanjaan. Cukup dengan mengantongi sebuah kartu plastik yang berukuran kira-kira panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter dan kemudian cukup menggesekkan di tempat-tempat belanja yang berlogo Visa, Master Card, Amirican Ekspress, Maestro, Diners Club, atau Mondex, para pemakai kartu ini sudah dapat membawa pulang barang-barang belanjaannya.
Transaksi dengan tanpa menggunakan uang tunai semakin menjadi tren, terutama pada masyarakat perkotaan. Sejak dimunculkan bentuk kartu plastik yang dapat dijadikan sebagai alat pembayaran semakin mengikis peredaran uang tunai sebagai alat bayar.
Peningkatan tren penggunaan kartu transaksi ini pada masyarakat nasabah bank, memicu minat sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit dengan system syariah. Kartu kredit untuk sebagian pelaku bank syariah di anggap sebagai peluang pasar yang dapat dijadikan bidikan bisnis untuk mengembangkan bank syariah. Walaupun masih terdapat kondisi pro dan kontra pada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa penerbitan kartu kredit pada bank syariah hanya akan menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat, disamping berpotensi menimbulkan rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing-NPF).
Fatwa DSN-MUI
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi pada kalangan pelaku bisnis bank syariah tersebut DSN-MUI telah menfatwakan bahwa penggunaan kartu kredit diperbolehkan pada bank syariah dengan memperhatikan tata aturan dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah. Hal ini didasari atas alasan, salah satunya, untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk bertransaksi serta memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap kepemilikan uang.
Kartu Kredit Syariah tidak berbeda fungsinya dengan kartu kredit pada umumnya yang digunakan oleh perbankan konvensional. Kartu kredit syariah digunakan sebagai alat transaksi untuk membeli berbagai macam keperluan, barang-barang, dan pelayanan tertentu bagi pengguna kartu dengan melakukan pinjaman sejumlah harga dalam transaksi kepada pihak penerbit kartu.
Pada fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI kartu kredit syariah disebut dengan Syariah Card atau dalam bahasa Arabnya menggunakan istilah Bithaqah I’timan. Bithaqah secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, dan diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas tersebut. Sementara I’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Biasanya, pada dunia bisnis hal ini diartikan sebagai pinjaman yang diberikan kepada orang yang dipercaya dalam sikap amanah dan kejujurannya, sehingga diberikan sebuah pinjaman dengan jumlah tertentu untuk kemudian dilakukan pembayaran secara tertunda.
Fungsi uang sebagai alat pembayaran semakin tergantikan dengan penggunaan kartu plastik ini, hingga dalam transaksi tidak perlu lagi membawa setumpuk uang di tempat-tempat perbelanjaan. Cukup dengan mengantongi sebuah kartu plastik yang berukuran kira-kira panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter dan kemudian cukup menggesekkan di tempat-tempat belanja yang berlogo Visa, Master Card, Amirican Ekspress, Maestro, Diners Club, atau Mondex, para pemakai kartu ini sudah dapat membawa pulang barang-barang belanjaannya.
Transaksi dengan tanpa menggunakan uang tunai semakin menjadi tren, terutama pada masyarakat perkotaan. Sejak dimunculkan bentuk kartu plastik yang dapat dijadikan sebagai alat pembayaran semakin mengikis peredaran uang tunai sebagai alat bayar.
Peningkatan tren penggunaan kartu transaksi ini pada masyarakat nasabah bank, memicu minat sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit dengan system syariah. Kartu kredit untuk sebagian pelaku bank syariah di anggap sebagai peluang pasar yang dapat dijadikan bidikan bisnis untuk mengembangkan bank syariah. Walaupun masih terdapat kondisi pro dan kontra pada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa penerbitan kartu kredit pada bank syariah hanya akan menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat, disamping berpotensi menimbulkan rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing-NPF).
Fatwa DSN-MUI
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi pada kalangan pelaku bisnis bank syariah tersebut DSN-MUI telah menfatwakan bahwa penggunaan kartu kredit diperbolehkan pada bank syariah dengan memperhatikan tata aturan dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah. Hal ini didasari atas alasan, salah satunya, untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk bertransaksi serta memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap kepemilikan uang.
Kartu Kredit Syariah tidak berbeda fungsinya dengan kartu kredit pada umumnya yang digunakan oleh perbankan konvensional. Kartu kredit syariah digunakan sebagai alat transaksi untuk membeli berbagai macam keperluan, barang-barang, dan pelayanan tertentu bagi pengguna kartu dengan melakukan pinjaman sejumlah harga dalam transaksi kepada pihak penerbit kartu.
Pada fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI kartu kredit syariah disebut dengan Syariah Card atau dalam bahasa Arabnya menggunakan istilah Bithaqah I’timan. Bithaqah secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, dan diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas tersebut. Sementara I’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Biasanya, pada dunia bisnis hal ini diartikan sebagai pinjaman yang diberikan kepada orang yang dipercaya dalam sikap amanah dan kejujurannya, sehingga diberikan sebuah pinjaman dengan jumlah tertentu untuk kemudian dilakukan pembayaran secara tertunda.
Oleh: Ir. Nadratuzzaman Hosen, MS., MEc., Ph.D dan Ach. Bakhrul Muchtasib, SEi., MSi