Kita mengetahui bahwa akhir-akhir ini banyak muncul dukungan seputar keluarnya Indonesia dari IMF. Misalnya, Faisal Basri, salah seorang pengamat ekonomi, menurutnya polemik tersebut sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan kini adalah bagaimana Indonesia mempersiapkan diri agar tidak lagi terjerembab krisis seperti yang terjadi pada masa lalu. (Pikiran Rakyat, 12/5/2003, hlm.7).
Sementara itu, Kwik Kian Gie, Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menilai bahwa opsi-opsi yang diberikan IMF -- bilamana Indonesia akan keluar dari IMF -- bertujuan agar Indonesia terus bergantung pada IMF. Bahkan, Kwik secara tegas menilai bahwa opsi-opsi yang ditawarkan IMF sama sekali tidak berguna. (Pikiran Rakyat, 10/5/2003, hlm. 15).
Wajar saja banyak pengamat ekonomi menginginkan agar hubungan dengan IMF tidak diperpanjang lagi sebab secara fakta kehadiran IMF tidak banyak membawa manfaat bagi Indonesia. Bahkan, negara-negara dunia ketiga yang pernah terlibat dengan IMF lainnya pun mengalami keterpurukan ekonomi yang sama. Setidaknya dengan indikasi utang yang semakin menjeratnegara-negara dunia ketiga tersebut. Zambia, misalnya, tahun 1980-an pendapatan perkapitanya 600 dolar AS per tahun. Tahun 1986 setelah mengikuti program IMF, pendapatan perkapitannya turun drastis sampai 170 dolar AS per tahun. Laju inflasi meningkat hingga persen. Tingkat pengangguran meningkat dari 14 persen menjadi 25 persen. Dalam dua tahun mata uangnya sudah didevaluasi 700 persen. Sampai tahun 1986, setelah lima tahun program IMF dipraktikkan, sekira 10.000 rakyat Zambia kehilangan pekerjaan mereka. (Al Waie, ed. 03, hlm. 8)
Brazil, Venezuela, dan Filipina pun mengalami nasib yang sama. Selain terjerat utang, penurunan pendapatan perkapita dan kerusuhan-kerusuhan dialami oleh negara-negara tersebut. Kerusuhan marak terjadi karena seringkali yang menjadi korban kebijakan ala IMF ini adalah rakyat, misalnya pemotongan subsidi BBM. Rakyat yang merasa dirugikan pun protes sehingga kerusuhan tak terelakkan. Kejadian tragis terjadi di Venezuela tahun 1989, tatkala diumumkan program penghematan nasional yang didukung IMF, rakyat protes sehingga terjadi kerusuhan yang menelan korban 300 orang terbunuh.
Bantuan luar negeri
Meskipun sudah ada kesadaran untuk memutus hubungan dengan IMF, solusi yang masih dijadikan sandaran sebagian pengamat ekonomi masih seputar bantuan pinjaman. Di antara solusinya adalah dengan menggaet Jepang atau berbicara dengan CGI (Consultative Group on Indonesia). Walau demikian, perlu diingat bahwa setiap negara yang memberi bantuan pinjaman senantiasa terkait dengan motivasi politik maupun ekonomi.
Secara ekonomi bantuan pinjaman itu menguntungkan negara pemberi bantuan. Zulkarnain Djamin dalam bukunya menyatakan, "Argumentasi ekonomi yang mengatasnamakan bantuan luar negeri sebagai obat yang krusial untuk pembangunan negara-negara sedang berkembang harus tidak menutupi kenyataan bahwa, bahkan pada ekonomi ketat sekalipun, keuntungan akan mengalir ke negara-negara pemberi bantuan sebagai hasil dari program-programbantuan mereka." (Masalah Utang Luar Negeri, LP FEUI, 1996)
Keuntungan negara pemberi bantuan ini diakuioleh para pejabat mereka. William S. Gaud salah seorang pejabat AS menyatakan, "Satu-satunya praanggapan yang paling keliru mengenai bantuan luarnegeri adalah bahwa kita mengirim uang ke luar negeri. Padahal tidak. Bantuan luar negeri Amerika Serikat terdiri atas peralatan, bahan mentah, jasa para ahli, dan pangan.
Semuanya itu diberikan untuk projek-projek yang telah kita tinjau sendiri dan kita telah menyetujui 93% dana AID digunakan langsung di Amerika Serikat untuk membayar barang-barang tersebut. Tahun 1964, sekira 4.000 perusahaan Amerika di 50 negara bagian mendapat 1,3 miliar dari dana AID untuk produk-produk yang disuplainya sebagai bagian dari program bantuan luar negeri.
Adapun Earl Grinstead, mantan Menteri Pembangunan Inggris dalam nada yang sama menyatakan, "Sekira dua pertiga bantuan luar negeri untuk belanja barang dan jasa di Inggris...suatu perdagangan lewat bantuan. Kita memberi peralatan pabrik di luar negeri dan kemudian kita memperoleh pesanan untuk suku cadang dan rehabilitasi...bantuan) merupakan kepentingan kita jangka panjang." (Zulkarnain Djamin, 1996)
Jadi, secara ekonomi pun solusi bantuan luar negeri ternyata lebih manguntungkan para "donor". Belum lagi secara politik, hampir dipastikan kebijakan-kebijakan pemerintahan negara yang diberi bantuan disesuaikan, diarahkan bahkan ditekan untuk mengikuti kepentingan negara-negara "donor" tersebut.
Meski seringkali telinga kita dicekoki berita-berita tentang keberhasilan pembangunan di negeri-negeri dunia ketiga, juga mengenai upaya berbagai lembaga keuangan internasional yang mengulurkan "bantuannya" kepada negeri-negeri yang miskin, namun kenyataannya hingga saat ini bantuan-bantuan yang diterima oleh negeri-negeri tadi bukannya meringankan beban mereka, melainkan malah memberatkan dan menjerat mereka.
George Woods, mantan presiden Bank Dunia berkomentar tentang bantuan ekonomi ini, "Jika keadaannya terus begini, jumlahmodal yang keluar dari negara-negara berkembang akan lebih besar jumlahnya daripada modal yang masuk, dalam jangka waktu lima belas tahun terakhir. Hal ini disebabkan bungauang yang amat tinggi." (lihat Bantuan-bantuan Keuangan Amerika dan Uni Soviet, Dr. Nabhil Subhi, hlm. 8) Jadi, adalah benar pernyataan bahwa bantuan pembangunan malah menambah ruwet keadaan dan menjadikan kondisi ekonomi negara-negara berkembang -- sebagai pihak penerima -- lebih buruk daripada sebelum memperoleh bantuan. Contoh lain yang menarik mengenai akibat buruk bantuan asing (utang luar negeri) adalah kenyataan di negara Mesir yang memperoleh suntikan dana dari Bank Dunia dalam jangka waktu tahun 1978-1981 lalu. Bantuan ini, katanya, bertujuan untuk menyelamatkan Mesir dari kekisruhan ekonomi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangannya. Dr. Ramzi Zaki, staf ahli Lembaga Perencanaan Nasional Mesir, yang mengkaji masalah bantuan luar negeri itu, melaporkan bahwa tatkala Bank Dunia mulai aktif di Mesir tahun 1978, utang negara itu hanya 8 miliar dolar AS. Namun pada tahun 1981 -- dalam tempo hanya 3 tahun saja -- utang Mesir kepada Bank Dunia telah membengkak sampai lebih dari 18 miliar dolar AS (Syarqul Ausath, 21/11/1978).
Bantuan LN perspektif Islam
Abdurrahman al-Maliki dalam kitab as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 200-207 menyebutkan setidaknya ada 4 bahaya bantuan (utang) luar negeri. Pertama, bantuan (utang) yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negara berkembang (termasuk negeri muslim) hakikatnya merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima bantuan tersebut. Terjadinya penjajahan Inggris di Mesir dan Prancis diTunisia yang diawali dengan kucuran dana pinjaman dari kedua negara kapitalis penjajah itu merupakan contoh sejarah yang baik.
Kedua, sebelum utang diberikan, pihak kreditur harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara untuk menerima utang itu dengan mengirim pakar-pakar ekonomi mereka (baca: untuk memata-matai) sehingga mereka dapat menyingkap rahasia ekonomi sebuah negara sekaligus untuk membuat skenario proses pemiskinan yang canggih.
Menurut Dr. Didik J. Rachbini, beban utang luar negeri yang harus dibayar Indonesia tiap tahun lebih besar dari pinjaman yang diterima Indonesia sekira Rp 6,5 sampai Rp 7 triliun. Tahun lalu (1996), Indonesia yang mendapat pinjaman Rp 12,5 triliun itu harus membayar cicilan utang + bunga sebesar Rp 19 triliun. Dan bila dihitung sejak tahun 1986, defisit itu telah mencapaisekira Rp 40 triliun !! (Republika, 19/7/1997). Ketiga, bantuan utang luar negeri yang diberikan negara kapitalis kepada negara berkembang merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi serta sistem sosial kemasyarakatan negara kreditur itu kepada negara penerima utang. Tujuan mereka memberi utang hakikatnya bukanlah membantu negara lain, tapi demi keamanan, keselamatan dan keuntungan mereka. Mereka menjadikan negara penerima utang sebagai alat sekaligus lahan guna mencapai tujuan mereka.
Umar Juoro, pengamat ekonomi dari CIDES, Bank Dunia toh juga suatu entitas bisnis yang tentu ingin mendapatkan keuntungan dari setiap kegiatannya. Tentu apa yang dilakukan Bank Dunia dan IMF sama dengan yang dilakukan sindikat moneter internasional di masa Liga Bangsa-Bangsa dulu!
Keempat, utang-utang itu sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam. Utang jangka pendek misalnya, akan memukul mata uang negara-negara yang berutang. Karena utang yang diberikan dengan dolar AS, harus dibayar dengan dolar AS yang termasuk mata uang yang jarang dimiliki oleh negara pengutang (devisanya terbatas). Akibatnya, negara itu harus membelinya secara besar-besaran dengan harga yang otomatislebih mahal alias nilai mata uangnya sendiri turun.
Inilah yang sekarang pernah terjadi di Indonesia. Begitu paniknya para pengusaha yang sudah terjerat oleh comercial paper yang mereka sebarkan pada waktu mengambil utang, berlomba-lomba memburu dolar yang justru menjatuhkan mata uang rupiah dan menimbulkan gejolak moneter.
Itulah beberapa bahaya utang luar negeri yang disampaikan oleh Abdurrahman al-Maliki. Melihat fakta demikian perlu dikaitkan dengan pandangan Islam sendiri terhadap aktivitas meminjam/mengutang. Menurut hukum Islam, mengutang itu mubah (boleh). Akan tetapi ada kaidah syara' yang menyatakan bahwa, "Jika salah satu perkara mubah menghasilkan bahaya, perkara mubah tersebut harus dicegah." Uraian di atas menunjukkan bahwa utang luar negeri kepada Bank Dunia dan IMF maupun lembaga-lembaga keuangan kapitalis lainnya -- dari dulu hingga sekarang -- nyata-nyata membahayakan perekonomian negara-negara peminjam bahkan menimbulkan dominasi negara atau lembaga kreditur itu kepada negara peminjam. Dominasi lembaga atau negara kafir atas kaum Muslim haram hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (memusnahkan) orang-orang mukmin" (QS. An-Nisaa: 141).
Lebih-lebih lagi utang luar negeri yang jelas-jelas menjadikan negara-negara peminjam susah sekali bisa melunasi utangnya itu, memang diembel-embeli dengan beban bunga (baca: riba) yang secara tegas diharamkan oleh Islam. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamuorang-orang beriman" (QS. Al-Baqarah: 278).
Cara Islam tanggulangi krisis
Tampaknya, para pemimpin di sini -- juga negeri-negeri yang sedang dikungkung oleh sistem kapitalisme -- tak punya alternatif lain selain kembali pada Islam. Islam melarang kaum Muslim menggantungkan diri pada musuh-musuh Islam, baik negara adidaya maupun lembaga-lembaga keuangan yang di bawah dominasi AS. Islam mengharuskan kita lepas dari kemauan IMF atau negara-negara lain yang ingin mendominasi kaum Muslim.
Mungkin sebagian pembaca bertanya mengapa putus dengan IMF membawa agama Islam segala? Apakah ada hubungannya agama Islam dengan penyelesaian krisis ekonomi? Sebagai seorang muslim kita harus senantiasa menjadikan standar perbuatan dengan hukum syara' (aturan Allah dan rasul-Nya). Baik perbuatan yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi. Kita tidak boleh memahami agama Islam dengan sudut pandang yang sempit dan sekuler. Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain yang hanya mencakup masalah-masalah ritual dan moral semata. Islam adalah agama Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi dan Al Quran adalah petunjuk buat manusia (QS. Al-Baqarah:185) yang menjelaskan segala sesuatu (QS. An-Nahl:89), sedangkan hadis Rasulullah saw. bersama Al Quran adalah dua serangkai yang tak dapat dipisahkan dalam membimbing dan mengarahkan manusiadalam menjalani kehidupan di dunia ini. Rasulullah saw. bersabda, "Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad" (H.R. Muslim).
Artinya, berbagai bentuk praktik-praktik ekonomi yang tidak sehat selama ini bukanlah disebabkan karena kekuasaan yang disatukan dengan Islam. Justru disebabkan oleh kekuasaan yang dipisahkan dari Islam; dan dibatasinya Islam pada aspek-aspek yang tidak ada kaitannya dengan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Lalu bagaimana kebijakan ataupolitik Islam dalam bidang ekonomi, terutama dalam mengatasi krisis seperti sekarang?
Politik ekonomi Islam
Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya As-Siyasah al-Iqtishaadiyyah Al- Mutsla hlm. 38-39 mengatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah politik unggulan yang menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok (hajaatul asaasiyyah) bagi setiap individu warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga memberi kesempatan kepada siapa saja yang mampu berusaha memenuhi kebutuhan sekunder maupun tersiernya (hajaatul kamaliyyah) sesuai dengan pola yang dianut masing-masing individu, baik yang sederhana (zuhud) maupun yang senang dengan kenyamanan perhiasan dunia. Disamping itu, negara dalam pandangan Islam wajib menjamin hak jama'ah, yaitu berupa pendidikan gratis dan jaminan kesehatan secara cuma-cuma.
Dalam memenuhi hal itu, Islam tidak menggunakan model pembangunan trickle down effect(efek menetes ke bawah). Islam tidak menekankan pada pertumbuhan yang terakumulasi pada segelintir konglomerat. Justru tekanan politik ekonomi Islam adalah pada pemerataan dan pendistribusian harta (tauzii'ul amwaal), bahkan keseimbangan distribusi harta.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan harta fa'i dari Bani Nadlir, Rasulullah saw. membagikan hanya kepada kaum Muhajirin yang notabene semua miskin, dan tidak membagikannya kepada kaum Anshar yang pribumi kota Madinah, kecuali kepada dua orang miskin yang membutuhkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Agar jangan harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya saja" (QS. Al-Hasyr: 7). Dengan pemahaman seperti itu pulalah Utsman bin 'Affan ra, sahabat yang juga menantu Rasulullah saw., pada musim paceklik memborong dagangan yang baru datang ke kota Madinah dan membagi-bagikannya kepada para fakir miskin secara gratis seraya menolak menjual barang-barang itu kepada para pedagang yang diduga akan menjualnya dengan harga yang mahal kepada masyarakat. Itulah yang semestinya dilakukan oleh para konglomerat, bukannya mengeruk keuntungan dengan memonopoli pasar atau menimbun barang.
Di samping itu, reformasi dan restrukturisasi ekonomi secara total harus mengacu pada sistem ekonomi Islam secara keseluruhan jika ingin mendapatkan satu penanggulangan krisis ekonomi secara tuntas.
Secara global, kalau kita sudah memahami bahwa: pertama, urat nadi perekonomian kapitalis yang sekarang dianutkebanyakan kaum Muslim diseluruh dunia -- karena ketertundukan mereka kepada AS yang mengendalikan World Bank dan IMF -- adalah bursa saham dan valas. Kedua, jatuh bangunnya perekonomian suatu negara bahkan dunia -- seperti GreatDepression tahun 1929 yang diselesaikan dengan perang dunia kedua tahun 1939 -- ditentukan oleh bursa tersebut, dan ketiga, masuknya kekuatan modal asing melalui bursa-bursa tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan yang harus kita tempuh adalah menutup bursa-bursa beserta pilar-pilar pendukungnya, seperti sistem PT, sistem riba, dan sistem mata uang kertas (flat money/bank note) yang sesungguhnya amat rapuh itu, dan kemudian menyesuaikan sistem PT, perbankan, dan mata uangnya dengan hukum-hukum Islam. Dalam hal ini perlu diperdalam lagi pengkajiannya.
Hanya saja, langkah-langkah seperti itu membutuhkan kemauan politik (political will) yang kuat dari para pemimpin kaum Muslim di negeri ini. Karena penyelesaiannya bersifat radikal dan mendasar, itulah satu-satunya yang harus ditempuh jika tak ingin menderita di bawah dominasi AS dan seluruh organisasi kapitalis kolonialis. Itulah pula yang akan mengantarkan kebangkitan dan kemandirian bukan hanya dalam ekonomi saja. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mau mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd: 11).
Oleh Dodiman, S.E.
Penulis adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia
Sementara itu, Kwik Kian Gie, Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menilai bahwa opsi-opsi yang diberikan IMF -- bilamana Indonesia akan keluar dari IMF -- bertujuan agar Indonesia terus bergantung pada IMF. Bahkan, Kwik secara tegas menilai bahwa opsi-opsi yang ditawarkan IMF sama sekali tidak berguna. (Pikiran Rakyat, 10/5/2003, hlm. 15).
Wajar saja banyak pengamat ekonomi menginginkan agar hubungan dengan IMF tidak diperpanjang lagi sebab secara fakta kehadiran IMF tidak banyak membawa manfaat bagi Indonesia. Bahkan, negara-negara dunia ketiga yang pernah terlibat dengan IMF lainnya pun mengalami keterpurukan ekonomi yang sama. Setidaknya dengan indikasi utang yang semakin menjeratnegara-negara dunia ketiga tersebut. Zambia, misalnya, tahun 1980-an pendapatan perkapitanya 600 dolar AS per tahun. Tahun 1986 setelah mengikuti program IMF, pendapatan perkapitannya turun drastis sampai 170 dolar AS per tahun. Laju inflasi meningkat hingga persen. Tingkat pengangguran meningkat dari 14 persen menjadi 25 persen. Dalam dua tahun mata uangnya sudah didevaluasi 700 persen. Sampai tahun 1986, setelah lima tahun program IMF dipraktikkan, sekira 10.000 rakyat Zambia kehilangan pekerjaan mereka. (Al Waie, ed. 03, hlm. 8)
Brazil, Venezuela, dan Filipina pun mengalami nasib yang sama. Selain terjerat utang, penurunan pendapatan perkapita dan kerusuhan-kerusuhan dialami oleh negara-negara tersebut. Kerusuhan marak terjadi karena seringkali yang menjadi korban kebijakan ala IMF ini adalah rakyat, misalnya pemotongan subsidi BBM. Rakyat yang merasa dirugikan pun protes sehingga kerusuhan tak terelakkan. Kejadian tragis terjadi di Venezuela tahun 1989, tatkala diumumkan program penghematan nasional yang didukung IMF, rakyat protes sehingga terjadi kerusuhan yang menelan korban 300 orang terbunuh.
Bantuan luar negeri
Meskipun sudah ada kesadaran untuk memutus hubungan dengan IMF, solusi yang masih dijadikan sandaran sebagian pengamat ekonomi masih seputar bantuan pinjaman. Di antara solusinya adalah dengan menggaet Jepang atau berbicara dengan CGI (Consultative Group on Indonesia). Walau demikian, perlu diingat bahwa setiap negara yang memberi bantuan pinjaman senantiasa terkait dengan motivasi politik maupun ekonomi.
Secara ekonomi bantuan pinjaman itu menguntungkan negara pemberi bantuan. Zulkarnain Djamin dalam bukunya menyatakan, "Argumentasi ekonomi yang mengatasnamakan bantuan luar negeri sebagai obat yang krusial untuk pembangunan negara-negara sedang berkembang harus tidak menutupi kenyataan bahwa, bahkan pada ekonomi ketat sekalipun, keuntungan akan mengalir ke negara-negara pemberi bantuan sebagai hasil dari program-programbantuan mereka." (Masalah Utang Luar Negeri, LP FEUI, 1996)
Keuntungan negara pemberi bantuan ini diakuioleh para pejabat mereka. William S. Gaud salah seorang pejabat AS menyatakan, "Satu-satunya praanggapan yang paling keliru mengenai bantuan luarnegeri adalah bahwa kita mengirim uang ke luar negeri. Padahal tidak. Bantuan luar negeri Amerika Serikat terdiri atas peralatan, bahan mentah, jasa para ahli, dan pangan.
Semuanya itu diberikan untuk projek-projek yang telah kita tinjau sendiri dan kita telah menyetujui 93% dana AID digunakan langsung di Amerika Serikat untuk membayar barang-barang tersebut. Tahun 1964, sekira 4.000 perusahaan Amerika di 50 negara bagian mendapat 1,3 miliar dari dana AID untuk produk-produk yang disuplainya sebagai bagian dari program bantuan luar negeri.
Adapun Earl Grinstead, mantan Menteri Pembangunan Inggris dalam nada yang sama menyatakan, "Sekira dua pertiga bantuan luar negeri untuk belanja barang dan jasa di Inggris...suatu perdagangan lewat bantuan. Kita memberi peralatan pabrik di luar negeri dan kemudian kita memperoleh pesanan untuk suku cadang dan rehabilitasi...bantuan) merupakan kepentingan kita jangka panjang." (Zulkarnain Djamin, 1996)
Jadi, secara ekonomi pun solusi bantuan luar negeri ternyata lebih manguntungkan para "donor". Belum lagi secara politik, hampir dipastikan kebijakan-kebijakan pemerintahan negara yang diberi bantuan disesuaikan, diarahkan bahkan ditekan untuk mengikuti kepentingan negara-negara "donor" tersebut.
Meski seringkali telinga kita dicekoki berita-berita tentang keberhasilan pembangunan di negeri-negeri dunia ketiga, juga mengenai upaya berbagai lembaga keuangan internasional yang mengulurkan "bantuannya" kepada negeri-negeri yang miskin, namun kenyataannya hingga saat ini bantuan-bantuan yang diterima oleh negeri-negeri tadi bukannya meringankan beban mereka, melainkan malah memberatkan dan menjerat mereka.
George Woods, mantan presiden Bank Dunia berkomentar tentang bantuan ekonomi ini, "Jika keadaannya terus begini, jumlahmodal yang keluar dari negara-negara berkembang akan lebih besar jumlahnya daripada modal yang masuk, dalam jangka waktu lima belas tahun terakhir. Hal ini disebabkan bungauang yang amat tinggi." (lihat Bantuan-bantuan Keuangan Amerika dan Uni Soviet, Dr. Nabhil Subhi, hlm. 8) Jadi, adalah benar pernyataan bahwa bantuan pembangunan malah menambah ruwet keadaan dan menjadikan kondisi ekonomi negara-negara berkembang -- sebagai pihak penerima -- lebih buruk daripada sebelum memperoleh bantuan. Contoh lain yang menarik mengenai akibat buruk bantuan asing (utang luar negeri) adalah kenyataan di negara Mesir yang memperoleh suntikan dana dari Bank Dunia dalam jangka waktu tahun 1978-1981 lalu. Bantuan ini, katanya, bertujuan untuk menyelamatkan Mesir dari kekisruhan ekonomi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangannya. Dr. Ramzi Zaki, staf ahli Lembaga Perencanaan Nasional Mesir, yang mengkaji masalah bantuan luar negeri itu, melaporkan bahwa tatkala Bank Dunia mulai aktif di Mesir tahun 1978, utang negara itu hanya 8 miliar dolar AS. Namun pada tahun 1981 -- dalam tempo hanya 3 tahun saja -- utang Mesir kepada Bank Dunia telah membengkak sampai lebih dari 18 miliar dolar AS (Syarqul Ausath, 21/11/1978).
Bantuan LN perspektif Islam
Abdurrahman al-Maliki dalam kitab as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 200-207 menyebutkan setidaknya ada 4 bahaya bantuan (utang) luar negeri. Pertama, bantuan (utang) yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negara berkembang (termasuk negeri muslim) hakikatnya merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima bantuan tersebut. Terjadinya penjajahan Inggris di Mesir dan Prancis diTunisia yang diawali dengan kucuran dana pinjaman dari kedua negara kapitalis penjajah itu merupakan contoh sejarah yang baik.
Kedua, sebelum utang diberikan, pihak kreditur harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara untuk menerima utang itu dengan mengirim pakar-pakar ekonomi mereka (baca: untuk memata-matai) sehingga mereka dapat menyingkap rahasia ekonomi sebuah negara sekaligus untuk membuat skenario proses pemiskinan yang canggih.
Menurut Dr. Didik J. Rachbini, beban utang luar negeri yang harus dibayar Indonesia tiap tahun lebih besar dari pinjaman yang diterima Indonesia sekira Rp 6,5 sampai Rp 7 triliun. Tahun lalu (1996), Indonesia yang mendapat pinjaman Rp 12,5 triliun itu harus membayar cicilan utang + bunga sebesar Rp 19 triliun. Dan bila dihitung sejak tahun 1986, defisit itu telah mencapaisekira Rp 40 triliun !! (Republika, 19/7/1997). Ketiga, bantuan utang luar negeri yang diberikan negara kapitalis kepada negara berkembang merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi serta sistem sosial kemasyarakatan negara kreditur itu kepada negara penerima utang. Tujuan mereka memberi utang hakikatnya bukanlah membantu negara lain, tapi demi keamanan, keselamatan dan keuntungan mereka. Mereka menjadikan negara penerima utang sebagai alat sekaligus lahan guna mencapai tujuan mereka.
Umar Juoro, pengamat ekonomi dari CIDES, Bank Dunia toh juga suatu entitas bisnis yang tentu ingin mendapatkan keuntungan dari setiap kegiatannya. Tentu apa yang dilakukan Bank Dunia dan IMF sama dengan yang dilakukan sindikat moneter internasional di masa Liga Bangsa-Bangsa dulu!
Keempat, utang-utang itu sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam. Utang jangka pendek misalnya, akan memukul mata uang negara-negara yang berutang. Karena utang yang diberikan dengan dolar AS, harus dibayar dengan dolar AS yang termasuk mata uang yang jarang dimiliki oleh negara pengutang (devisanya terbatas). Akibatnya, negara itu harus membelinya secara besar-besaran dengan harga yang otomatislebih mahal alias nilai mata uangnya sendiri turun.
Inilah yang sekarang pernah terjadi di Indonesia. Begitu paniknya para pengusaha yang sudah terjerat oleh comercial paper yang mereka sebarkan pada waktu mengambil utang, berlomba-lomba memburu dolar yang justru menjatuhkan mata uang rupiah dan menimbulkan gejolak moneter.
Itulah beberapa bahaya utang luar negeri yang disampaikan oleh Abdurrahman al-Maliki. Melihat fakta demikian perlu dikaitkan dengan pandangan Islam sendiri terhadap aktivitas meminjam/mengutang. Menurut hukum Islam, mengutang itu mubah (boleh). Akan tetapi ada kaidah syara' yang menyatakan bahwa, "Jika salah satu perkara mubah menghasilkan bahaya, perkara mubah tersebut harus dicegah." Uraian di atas menunjukkan bahwa utang luar negeri kepada Bank Dunia dan IMF maupun lembaga-lembaga keuangan kapitalis lainnya -- dari dulu hingga sekarang -- nyata-nyata membahayakan perekonomian negara-negara peminjam bahkan menimbulkan dominasi negara atau lembaga kreditur itu kepada negara peminjam. Dominasi lembaga atau negara kafir atas kaum Muslim haram hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (memusnahkan) orang-orang mukmin" (QS. An-Nisaa: 141).
Lebih-lebih lagi utang luar negeri yang jelas-jelas menjadikan negara-negara peminjam susah sekali bisa melunasi utangnya itu, memang diembel-embeli dengan beban bunga (baca: riba) yang secara tegas diharamkan oleh Islam. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamuorang-orang beriman" (QS. Al-Baqarah: 278).
Cara Islam tanggulangi krisis
Tampaknya, para pemimpin di sini -- juga negeri-negeri yang sedang dikungkung oleh sistem kapitalisme -- tak punya alternatif lain selain kembali pada Islam. Islam melarang kaum Muslim menggantungkan diri pada musuh-musuh Islam, baik negara adidaya maupun lembaga-lembaga keuangan yang di bawah dominasi AS. Islam mengharuskan kita lepas dari kemauan IMF atau negara-negara lain yang ingin mendominasi kaum Muslim.
Mungkin sebagian pembaca bertanya mengapa putus dengan IMF membawa agama Islam segala? Apakah ada hubungannya agama Islam dengan penyelesaian krisis ekonomi? Sebagai seorang muslim kita harus senantiasa menjadikan standar perbuatan dengan hukum syara' (aturan Allah dan rasul-Nya). Baik perbuatan yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi. Kita tidak boleh memahami agama Islam dengan sudut pandang yang sempit dan sekuler. Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain yang hanya mencakup masalah-masalah ritual dan moral semata. Islam adalah agama Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi dan Al Quran adalah petunjuk buat manusia (QS. Al-Baqarah:185) yang menjelaskan segala sesuatu (QS. An-Nahl:89), sedangkan hadis Rasulullah saw. bersama Al Quran adalah dua serangkai yang tak dapat dipisahkan dalam membimbing dan mengarahkan manusiadalam menjalani kehidupan di dunia ini. Rasulullah saw. bersabda, "Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad" (H.R. Muslim).
Artinya, berbagai bentuk praktik-praktik ekonomi yang tidak sehat selama ini bukanlah disebabkan karena kekuasaan yang disatukan dengan Islam. Justru disebabkan oleh kekuasaan yang dipisahkan dari Islam; dan dibatasinya Islam pada aspek-aspek yang tidak ada kaitannya dengan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Lalu bagaimana kebijakan ataupolitik Islam dalam bidang ekonomi, terutama dalam mengatasi krisis seperti sekarang?
Politik ekonomi Islam
Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya As-Siyasah al-Iqtishaadiyyah Al- Mutsla hlm. 38-39 mengatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah politik unggulan yang menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok (hajaatul asaasiyyah) bagi setiap individu warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga memberi kesempatan kepada siapa saja yang mampu berusaha memenuhi kebutuhan sekunder maupun tersiernya (hajaatul kamaliyyah) sesuai dengan pola yang dianut masing-masing individu, baik yang sederhana (zuhud) maupun yang senang dengan kenyamanan perhiasan dunia. Disamping itu, negara dalam pandangan Islam wajib menjamin hak jama'ah, yaitu berupa pendidikan gratis dan jaminan kesehatan secara cuma-cuma.
Dalam memenuhi hal itu, Islam tidak menggunakan model pembangunan trickle down effect(efek menetes ke bawah). Islam tidak menekankan pada pertumbuhan yang terakumulasi pada segelintir konglomerat. Justru tekanan politik ekonomi Islam adalah pada pemerataan dan pendistribusian harta (tauzii'ul amwaal), bahkan keseimbangan distribusi harta.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan harta fa'i dari Bani Nadlir, Rasulullah saw. membagikan hanya kepada kaum Muhajirin yang notabene semua miskin, dan tidak membagikannya kepada kaum Anshar yang pribumi kota Madinah, kecuali kepada dua orang miskin yang membutuhkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Agar jangan harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya saja" (QS. Al-Hasyr: 7). Dengan pemahaman seperti itu pulalah Utsman bin 'Affan ra, sahabat yang juga menantu Rasulullah saw., pada musim paceklik memborong dagangan yang baru datang ke kota Madinah dan membagi-bagikannya kepada para fakir miskin secara gratis seraya menolak menjual barang-barang itu kepada para pedagang yang diduga akan menjualnya dengan harga yang mahal kepada masyarakat. Itulah yang semestinya dilakukan oleh para konglomerat, bukannya mengeruk keuntungan dengan memonopoli pasar atau menimbun barang.
Di samping itu, reformasi dan restrukturisasi ekonomi secara total harus mengacu pada sistem ekonomi Islam secara keseluruhan jika ingin mendapatkan satu penanggulangan krisis ekonomi secara tuntas.
Secara global, kalau kita sudah memahami bahwa: pertama, urat nadi perekonomian kapitalis yang sekarang dianutkebanyakan kaum Muslim diseluruh dunia -- karena ketertundukan mereka kepada AS yang mengendalikan World Bank dan IMF -- adalah bursa saham dan valas. Kedua, jatuh bangunnya perekonomian suatu negara bahkan dunia -- seperti GreatDepression tahun 1929 yang diselesaikan dengan perang dunia kedua tahun 1939 -- ditentukan oleh bursa tersebut, dan ketiga, masuknya kekuatan modal asing melalui bursa-bursa tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan yang harus kita tempuh adalah menutup bursa-bursa beserta pilar-pilar pendukungnya, seperti sistem PT, sistem riba, dan sistem mata uang kertas (flat money/bank note) yang sesungguhnya amat rapuh itu, dan kemudian menyesuaikan sistem PT, perbankan, dan mata uangnya dengan hukum-hukum Islam. Dalam hal ini perlu diperdalam lagi pengkajiannya.
Hanya saja, langkah-langkah seperti itu membutuhkan kemauan politik (political will) yang kuat dari para pemimpin kaum Muslim di negeri ini. Karena penyelesaiannya bersifat radikal dan mendasar, itulah satu-satunya yang harus ditempuh jika tak ingin menderita di bawah dominasi AS dan seluruh organisasi kapitalis kolonialis. Itulah pula yang akan mengantarkan kebangkitan dan kemandirian bukan hanya dalam ekonomi saja. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mau mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd: 11).
Oleh Dodiman, S.E.
Penulis adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia