Harga BBM bakal dipastikan naik lagi. Perhitungan secara ekonomi, baik mikro maupun makro, konon mengharuskannya. Para pengamat ekonomi pun berlomba berkomentar. Ada yang mendorong secepatnya diberlakukan, mengkritisi, ataupun bersikap tengah-tengah. Soal apakah kenyataan tersebut tidak terlepas dari ''salah urus'' kebijakan ekonomi selama ini, agaknya sudah terlambat (atau tersumbat?) untuk didebat ulang.
Sementara, demo-demo mahasiswa telah berlangsung gegap gempita. 'Anjing menggonggong kafilah berlalu'. Pepatah itu rasanya pas untuk menggambarkan kenaikan BBM. Pemerintah mungkin saja pusing, tapi buktinya ''kepepet'' dan mau tidak mau menggulirkan kebijakan tersebut demi memotong beban subsidi BBM yang membelit. Paras negeri kita memang masih dipolesi oleh tindak-tindak KKN, eksploitasi, dan monopoli yang sudah terwarisi puluhan tahun. Penyelesaian hukum pun masih jauh dari cita. Prakarsa Developmentalisme sebagai bentuk kapitalisme baru menjadi ''ideologi'' yang makin tangguh saja.
Hutang negara kian membengkak yang dikhawatirkan akan merapuhkan fundamental ekonomi kita. Kucuran bantuan lembaga donor internasional dicermati sebagai bagian dari upaya penguatan Neo-Liberalisme. Jangan-jangan, negara kita kadung kesengsem menikmati ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Rupiah pun kebat-kebit cenderung melemah. Dan rakyat lah yang ikutan tercekik, tak henti merasakan getir dari kebijakan yang tak segera direformasi ini. Pembangunan yang bersifat mercusuar tanpa pemerataan disebut-sebut sebagai biang keladi kesenjangan yang tampak menganga. Daya beli masyarakat tidak seimbang dengan kian menanjaknya harga kebutuhan primer hidup. Ongkos sosial yang ditanggung rakyat jadi semakin mahal.
Hitungan fikih
Sebagai rakyat biasa yang mencintai bangsa ini, saya merasa terpanggil untuk ikut bicara. Kali ini, disiplin yang coba saya gunakan berkomentar yaitu melalui kaca mata fikih. Mungkin sekedar secercah pandangan yang ditempa oleh harapan akan kearifan (wishfull thinking) di tengah canggihnya pandangan lain, terutama dari segi disiplin ekonomi. Nyatanya, memang yang dibutuhkan bukan lagi utak-atik matematis, tetapi praksis keadilan yang nyata.
Nah, bagaimana fikih bersikap? Pada dasarnya, fikih menghendaki tidak adanya rekayasa yang merugikan dalam perputaran ekonomi. Penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar. Fakta sejarah --seperti diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah-- pernah pada suatu saat harga barang-barang di pasar Madinah membubung tinggi. Lalu umat Islam meminta Nabi Muhammad untuk intervensi penentuan harga (ta'sir). Ternyata, Nabi menolak permintaan itu. Beliau tidak mau intervensi dengan mematok harga tertentu. Artinya, Nabi memilih pasar bebas.
Berdasarkan riwayat ini, mayoritas ulama menetapkan keharaman intervensi harga (ta'sir). Menurut mereka, ta'sir adalah kedzaliman. Alasan hukumnya ('illat) karena pada dasarnya masing-masing orang diberi kemerdekaan untuk memutar hartanya. Intervensi penguasa dalam menentukan harga merupakan pengekangan terhadap kebebasan orang. Di samping juga bertentangan dengan prinsip jual beli yang saling rela ('an taradhin minkum).
Logika hukumnya seperti dinyatakan Syarbini Khathib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj pada saat yang sama, pemerintah berkewajiban memelihara kemashlahatan rakyat. Pemihakan pemerintah untuk memelihara kemashlahatan pembeli dengan harga yang rendah, tidak lebih utama ketimbang keinginan penjual untuk mendapatkan harga yang diinginkannya. Namun, jika pemerintah tidak melakukan intervensi penetapan harga (ta'sir), tidakkah memberi peluang bagi pelaku ekonomi untuk bermain harga semisal oligopoli? Jawabannya, tentu terbuka peluang ke arah itu.
Sejalan keharaman ta'sir, fikih tetap konsisten memotong segala tindakan dan rekayasa yang membuat harga naik-turun, tidak alami lagi. Karena itu, fikih melarang penimbunan barang (ihtikar), memborong barang di bawah standar sebelum masuk pasar (talaqi al-rukhban), mempermainkan harga (tala'ub bi al-tsaman), menipu dalam jual beli (tagrir), riba, percaloan (najs), atau seperti kasus membiarkan susu ternaknya tidak diperah agar dianggap selalu bersusu banyak (tashriyah), dan masih banyak lagi praktik ekonomi yang dilarang fikih. Intinya, segenap bentuk tindakan nakal, baik oleh pembeli maupun penjual yang bakal menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik turunnya harga yang tidak alami, dilarang keras oleh fikih.
Simpulan yang bisa ditarik dari selintas penjelasan fikih ini, ta'sir adalah bentuk dari idealisme fikih untuk mewujudkan ekonomi yang sehat dan adil. Ketiadaan kebijakan ta'sir memang menuntut reformasi total dalam konteks perekonomian di negeri kita. Penyerahan harga pada mekanisme pasar menuntut undang-undang antimonopoli, pemerintah yang bersih dan adil (clean government), pemerataan sumber daya ekonomi, pendongkrakan daya beli masyarakat, dan tindakan konsisten pemerintah untuk memerangi tindakan apapun yang menjadi virus bagi penyehatan ekonomi. Jika, syarat-syarat ini terpenuhi, kebijakan ta'sir secara fikih bisa diwujudkan sepenuhnya.
Akan tetapi, apa boleh buat, kebijakan naiknya BBM sudah tak terelakkan lagi. Kita telah berhadapan dengan alam nyata, bukan lagi hitung-hitungan di atas kertas. Lagi-lagi, rakyat kecil yang paling merasakan beban berat menanggung biaya hidup yang kian melonjak tinggi. Pemerintah memang memilih kebijakan menyediakan dana kompensasi bagi rakyat miskin. Ini setidaknya ''pelipur lara'' untuk mengurangi beban berat rakyat kecil. Yang penting, penyaluran dana itu berjalan dengan mulus, tanpa ada penyelewengan yang sudah sekian lama kerap terpampang dihadapan mata dan telinga rakyat. Dan mereka yang 'bermain di air keruh' dengan menyelundupkan BBM harus dihajar habis lewat penegakan hukum.
Secara fikih, dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu turun tangan melakukan intervensi pasar. Karenanya, kebijakan ta'sir menjadi keharusan pemberlakuannya. Kaidah fikih menyebutkan; kemashlahatan umum bisa mengalahkan kemashlahatan khusus. Kalau tidak ada ta'sir, diasumsikan akan mewujudkan kemashlahatan beberapa gelintir orang. Sementara, kebijakan ta'sir digunakan untuk mewujudkan kemashlahatan masyarakat banyak (mashlahah al-'ammah).
Sudah barang tentu, fikih meneguhkan bahwa kebijakan ta'sir harus disesuaikan dengan tingkat ekonomi rakyat. Abu Zakaria al-Nawawi, ulama fikih klasik dalam kitabnya al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, dan Yusuf al-Qaradhawi, ulama kontemporer dalam al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam sama-sama mewanti-wanti perlunya standardisasi bahwa mematok kebolehan ta'sir sampai pada batas yang masih bisa dijangkau oleh kemampuan rakyat (tsaman al-mitsl). Sehingga, kalau saja ta'sir yang dilakukan pemerintah ditetapkan pada harga tinggi, maka harus diturunkan sesuai dengan daya beli masyarakat.
Walhasil, prinsipnya pemerintah harus selalu memperhatikan kemashlahatan rakyat, tidak terkungkung oleh intervensi asing yang memendam kepentingan ekonomi ataupun politik. Dalam kaidah fikih jelas ditegaskan: tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah, yakni kebijakan pemerintah kepada rakyat harus selalu didasarkan pada kemashlahatan rakyat. Hanya saja, pertanyaan kritis (atau mungkin na'if?) masih akan terus bergelayut di benak rakyat; apakah kenaikan BBM yang otomatis berpengaruh pada kenaikan harga banyak barang konsumsi dan lainnya telah mencerminkan perwujudan kemashlahatan umum?
Said Aqiel Siradj, Ketua PBNU
Sementara, demo-demo mahasiswa telah berlangsung gegap gempita. 'Anjing menggonggong kafilah berlalu'. Pepatah itu rasanya pas untuk menggambarkan kenaikan BBM. Pemerintah mungkin saja pusing, tapi buktinya ''kepepet'' dan mau tidak mau menggulirkan kebijakan tersebut demi memotong beban subsidi BBM yang membelit. Paras negeri kita memang masih dipolesi oleh tindak-tindak KKN, eksploitasi, dan monopoli yang sudah terwarisi puluhan tahun. Penyelesaian hukum pun masih jauh dari cita. Prakarsa Developmentalisme sebagai bentuk kapitalisme baru menjadi ''ideologi'' yang makin tangguh saja.
Hutang negara kian membengkak yang dikhawatirkan akan merapuhkan fundamental ekonomi kita. Kucuran bantuan lembaga donor internasional dicermati sebagai bagian dari upaya penguatan Neo-Liberalisme. Jangan-jangan, negara kita kadung kesengsem menikmati ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Rupiah pun kebat-kebit cenderung melemah. Dan rakyat lah yang ikutan tercekik, tak henti merasakan getir dari kebijakan yang tak segera direformasi ini. Pembangunan yang bersifat mercusuar tanpa pemerataan disebut-sebut sebagai biang keladi kesenjangan yang tampak menganga. Daya beli masyarakat tidak seimbang dengan kian menanjaknya harga kebutuhan primer hidup. Ongkos sosial yang ditanggung rakyat jadi semakin mahal.
Hitungan fikih
Sebagai rakyat biasa yang mencintai bangsa ini, saya merasa terpanggil untuk ikut bicara. Kali ini, disiplin yang coba saya gunakan berkomentar yaitu melalui kaca mata fikih. Mungkin sekedar secercah pandangan yang ditempa oleh harapan akan kearifan (wishfull thinking) di tengah canggihnya pandangan lain, terutama dari segi disiplin ekonomi. Nyatanya, memang yang dibutuhkan bukan lagi utak-atik matematis, tetapi praksis keadilan yang nyata.
Nah, bagaimana fikih bersikap? Pada dasarnya, fikih menghendaki tidak adanya rekayasa yang merugikan dalam perputaran ekonomi. Penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar. Fakta sejarah --seperti diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah-- pernah pada suatu saat harga barang-barang di pasar Madinah membubung tinggi. Lalu umat Islam meminta Nabi Muhammad untuk intervensi penentuan harga (ta'sir). Ternyata, Nabi menolak permintaan itu. Beliau tidak mau intervensi dengan mematok harga tertentu. Artinya, Nabi memilih pasar bebas.
Berdasarkan riwayat ini, mayoritas ulama menetapkan keharaman intervensi harga (ta'sir). Menurut mereka, ta'sir adalah kedzaliman. Alasan hukumnya ('illat) karena pada dasarnya masing-masing orang diberi kemerdekaan untuk memutar hartanya. Intervensi penguasa dalam menentukan harga merupakan pengekangan terhadap kebebasan orang. Di samping juga bertentangan dengan prinsip jual beli yang saling rela ('an taradhin minkum).
Logika hukumnya seperti dinyatakan Syarbini Khathib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj pada saat yang sama, pemerintah berkewajiban memelihara kemashlahatan rakyat. Pemihakan pemerintah untuk memelihara kemashlahatan pembeli dengan harga yang rendah, tidak lebih utama ketimbang keinginan penjual untuk mendapatkan harga yang diinginkannya. Namun, jika pemerintah tidak melakukan intervensi penetapan harga (ta'sir), tidakkah memberi peluang bagi pelaku ekonomi untuk bermain harga semisal oligopoli? Jawabannya, tentu terbuka peluang ke arah itu.
Sejalan keharaman ta'sir, fikih tetap konsisten memotong segala tindakan dan rekayasa yang membuat harga naik-turun, tidak alami lagi. Karena itu, fikih melarang penimbunan barang (ihtikar), memborong barang di bawah standar sebelum masuk pasar (talaqi al-rukhban), mempermainkan harga (tala'ub bi al-tsaman), menipu dalam jual beli (tagrir), riba, percaloan (najs), atau seperti kasus membiarkan susu ternaknya tidak diperah agar dianggap selalu bersusu banyak (tashriyah), dan masih banyak lagi praktik ekonomi yang dilarang fikih. Intinya, segenap bentuk tindakan nakal, baik oleh pembeli maupun penjual yang bakal menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik turunnya harga yang tidak alami, dilarang keras oleh fikih.
Simpulan yang bisa ditarik dari selintas penjelasan fikih ini, ta'sir adalah bentuk dari idealisme fikih untuk mewujudkan ekonomi yang sehat dan adil. Ketiadaan kebijakan ta'sir memang menuntut reformasi total dalam konteks perekonomian di negeri kita. Penyerahan harga pada mekanisme pasar menuntut undang-undang antimonopoli, pemerintah yang bersih dan adil (clean government), pemerataan sumber daya ekonomi, pendongkrakan daya beli masyarakat, dan tindakan konsisten pemerintah untuk memerangi tindakan apapun yang menjadi virus bagi penyehatan ekonomi. Jika, syarat-syarat ini terpenuhi, kebijakan ta'sir secara fikih bisa diwujudkan sepenuhnya.
Akan tetapi, apa boleh buat, kebijakan naiknya BBM sudah tak terelakkan lagi. Kita telah berhadapan dengan alam nyata, bukan lagi hitung-hitungan di atas kertas. Lagi-lagi, rakyat kecil yang paling merasakan beban berat menanggung biaya hidup yang kian melonjak tinggi. Pemerintah memang memilih kebijakan menyediakan dana kompensasi bagi rakyat miskin. Ini setidaknya ''pelipur lara'' untuk mengurangi beban berat rakyat kecil. Yang penting, penyaluran dana itu berjalan dengan mulus, tanpa ada penyelewengan yang sudah sekian lama kerap terpampang dihadapan mata dan telinga rakyat. Dan mereka yang 'bermain di air keruh' dengan menyelundupkan BBM harus dihajar habis lewat penegakan hukum.
Secara fikih, dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu turun tangan melakukan intervensi pasar. Karenanya, kebijakan ta'sir menjadi keharusan pemberlakuannya. Kaidah fikih menyebutkan; kemashlahatan umum bisa mengalahkan kemashlahatan khusus. Kalau tidak ada ta'sir, diasumsikan akan mewujudkan kemashlahatan beberapa gelintir orang. Sementara, kebijakan ta'sir digunakan untuk mewujudkan kemashlahatan masyarakat banyak (mashlahah al-'ammah).
Sudah barang tentu, fikih meneguhkan bahwa kebijakan ta'sir harus disesuaikan dengan tingkat ekonomi rakyat. Abu Zakaria al-Nawawi, ulama fikih klasik dalam kitabnya al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, dan Yusuf al-Qaradhawi, ulama kontemporer dalam al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam sama-sama mewanti-wanti perlunya standardisasi bahwa mematok kebolehan ta'sir sampai pada batas yang masih bisa dijangkau oleh kemampuan rakyat (tsaman al-mitsl). Sehingga, kalau saja ta'sir yang dilakukan pemerintah ditetapkan pada harga tinggi, maka harus diturunkan sesuai dengan daya beli masyarakat.
Walhasil, prinsipnya pemerintah harus selalu memperhatikan kemashlahatan rakyat, tidak terkungkung oleh intervensi asing yang memendam kepentingan ekonomi ataupun politik. Dalam kaidah fikih jelas ditegaskan: tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah, yakni kebijakan pemerintah kepada rakyat harus selalu didasarkan pada kemashlahatan rakyat. Hanya saja, pertanyaan kritis (atau mungkin na'if?) masih akan terus bergelayut di benak rakyat; apakah kenaikan BBM yang otomatis berpengaruh pada kenaikan harga banyak barang konsumsi dan lainnya telah mencerminkan perwujudan kemashlahatan umum?
Said Aqiel Siradj, Ketua PBNU