Berdirinya Bank Muamalat tahun 1992 menandai dimulainya dual banking system di Indonesia. Namun demikian, dua dekade kemudian pangsa pasar industri perbankan syariah baru menembus angka 3,80 persen, padahal sebelumnya ditargetkan pangsa pasar lima persen akan dicapai pada akhir tahun 2008. Artinya, terlepas dari tingkat pertumbuhan yang selalu jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan industri perbankan konvensional, tetap belum cukup tinggi untuk memberi makna terhadap istilah dual banking. Besarnya dugaan potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk perkembangan perbankan syariah menyebabkan timbulnya pertanyaan mengapa pertumbuhan pangsa pasar ini sangat lambat dan apa yang dapat dilakukan untuk mempercepatnya?
Mengapa dinamika industri?
Harus diakui bahwa keberpihakan pemerintah dalam bentuk dukungan regulasi dan penempatan dana merupakan faktor yang tidak dinikmati oleh perbankan syariah Indonesia (Vayanos et al., 2008). Sementara pada sisi lain, tantangan ke depan untuk mempercepat peningkatan penguasaan pasar diperkirakan tidak semakin mudah (Fahmi, 2010).
Selain harus bersaing ketat dengan sesama bank syariah, perbankan syariah juga berhadapan dengan nasabah yang mempunyai permintaan yang semakin elastis karena masih menjadi nasabah perbankan konvensional. Dengan kata lain, market boundary industri perbankan syariah menjadi meluas, karena masih juga harus bersaing dengan perbankan konvensional. Dalam hal ini, diduga banyak perbankan syariah akan tertinggal dalam hal kemampuan memberikan pelayanan atau fleksibilitas dalam memenuhi berbagai kebutu han nasabah yang ‘mengambang’ tersebut.
Oleh karena itu diantara faktor kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah adalah meningkatkan keberpihakan pemerintah dan melakukan edukasi kepada konsumen akan keunggulan perbankan syariah. Sayangnya, keberpihakan pemerintah merupakan faktor eksternal yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali industri. Sementara edukasi masyarakat merupakan pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan kerjasama yang solid diantara pelaku industri perbankan syariah. Dengan demikian, industri perbankan syariah harus menggarap lebih serius faktor internal industri yang dapat dimodifikasi untuk merespon berbagai perkembangan eksternal dalam rangka untuk mencapai tujuan. Disinilah dinamika struktur pasar perbankan syariah dan perilaku masing-masing bank maupun perbankan secara industri menjadi sangat menentukan kinerja industri secara keseluruhan.
Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu pendekatan dalam ekonomi industri yang banyak digunakan untuk menganalisa dinamika suatu industri. Namun untuk dapat menggunakan pendekatan ini secara valid, terlebih dahulu harus jelas batasan pasar dari industri yang akan dianalisa. Setelah batasan pasar jelas, barulah analisis persaingan yang terjadi dalam industri dapat dianalisa.
Persaingan bank syariah
Disertasi penulis (Fahmi, 2012) memperlihatkan bahwa industri perbankan syariah saat ini tidak dapat dipisahkan secara tegas dengan industri perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari masih signifikannya pengaruh perubahan tingkat bunga bank konvensional terhadap nilai dana pihak ketiga pada perbankan syariah. Gambar 1 memperlihatkan terjadinya co-movement antara tingkat bunga dengan rate of return perbankan syariah. Besarnya proporsi pembiayaan dengan dasar marjin tetap seperti murabahah di duga menjadi penyebab terjadinya co-movement ini demi menjaga daya saing bank syariah. Dalam hal ini, semakin besar desakan agar bank syariah memperbesar porsi pembiayaan yang berbasis bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah untuk meminimumkan pengaruh tingkat bunga atau mempertegas batas antara industri perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Sayangnya laju pertumbuhan pembiayaan yang dianggap lebih sesuai dengan fitrah perbankan syariah ini tumbuh sangat lambat (Gambar 2).
Karena industri perbankan syariah belum dapat dipisahkan secara tegas dengan perbankan konvensional, maka sudah dapat diduga persaingan di dalam industri perbankan syariah akan sangat tinggi walaupun struktur pasarnya sangat terkonsentrasi pada dua bank besar. Hasil disertasi penulis membuktikan bahwa industri perbankan syariah menghadapi persaingan yang sangat tinggi (persaingan monopolistik) dengan H-stat Panzar dan Rosse yang mendekati satu (0.92). Yang belum jelas dalam persaingan yang tinggi ini adalah motivasinya, apakah karena tingkat contestability yang tinggi atau karena tuntutan syariah yang mengharuskan perusahaan tetap bersaing secara sempurna terlepas dari struktur pasar yang terjadi.
Struktur Pasar
Selain faktor makroekonomi yang merupakan faktor eksternal, disertasi penulis membuktikan bahwa dinamika industri dan keberpihakan pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan industri yang diproksi dengan nilai aset. Struktur pasar yang terkonsentrasi, seperti ditunjukkan oleh tingginya rasio konsentrasi dua bank terbesar, walaupun tidak sampai mengganggu persaingan yang sehat ternyata ditemukan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini berimplikasi perlunya memacu pertumbuhan industri yang semakin memperkecil kesenjangan antara bank syariah besar dengan bank yang lebih kecil atau growth with equity. Kemampuan BRI Syariah yang relatif baru menjadi BUS namun secara cepat meningkatkan pangsa pasar sehingga menjadi bank syariah terbesar ketiga merupakan salah satu fenomena yang sejalan dengan implikasi ini dan perlu dipatok duga oleh bank-bank syariah lainnya.
Keberpihakan pemerintah dalam bentuk disahkannya UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah secara signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bank syariah. Sejak diberlakukannya UU tersebut, data memperlihatkan pertumbuhan jumlah bank, khususnya Bank Umum Syariah (BUS) yang signifikan. Hanya dalam waktu empat tahun sejak diberlakukannya UU, jumlah BUS meningkat hanya tiga sebelum tahun 2008 menjadi empat kali lipatnya. Hasil kajian ini semakin memperkuat dugaan begitu signifikannya pengaruh keberpihakan pemerintah terhadap pertumbuhan industri. Oleh karena itu pemerintah diharapkan lebih proaktif lagi memberikan lingkungan yang kondusif dan dukungan yang lebih nyata terhadap industri perbankan syariah.
Beberapa implikasi
Salah satu penghambat pertumbuhan industri perbankan syariah adalah masih dominannya masyarakat yang tidak bersifat syariah loyalist. Kelompok masyarakat yang seperti ini umumnya sudah digarap habis oleh bank syariah yang ada, sehingga persaingan telah bergeser kepada kelompok masyarakat yang lebih rasional, dalam arti mereka akan memilih bank yang dapat memberikan pelayanan (termasuk return) yang lebih baik. Untuk kelompok yang mengambang seperti ini, bank syariah harus bersaing tidak hanya dengan sesamanya tetapi juga dengan bank konvensional yang telah mempunyai pengalaman panjang dan jangkauan jaringan yang lebih luas.
Karena bersaing dengan bank konvensional bukan merupakan hal yang mudah, maka sangat strategis bagi industri untuk meningkatkan upaya untuk melakukan edukasi masyarakat akan keunggulan bank syariah. Upaya edukasi ini tidak akan optimal jika diserahkan kepada masing-masing bank. Perlu kerjasama yang erat di tingkat industri agar proses edukasi dapat berjalan secara lebih maksimal.
Bentuk edukasi tidak hanya promosi, tetapi juga kerjasama business to business dalam melahirkan berbagai produk inovatif dan memperluas jangkauan kepada masyarakat. Pada saat yang sama berbagai praktik yang mengganggu diferensiasi bank syariah dengan bank konvensional, seperti terus menurunkan gejala co-movement antara tingkat bunga dan bagi hasil, juga perlu diupayakan di tingkat industri agar proses edukasi lebih efektif. Hal lain yang dapat didukung pada tingkat industri adalah memperbesar pool SDM melalui pengembangan SDM sendiri atau mengalokasikan dana yang cukup, dibandingkan mengamankan kepentingan jangka pendek dengan melakukan saling bajak SDM yang telah jadi.
Dr. Idqan Fahmi, Dosen IE-FEM dan Program Pasacasarjana Manajemen dan Bisnis IPB