Laporan keuangan syari’ah tidak menampilkan salah satu laporan penting seperti pada laporan keuangan konvensional, yaitu Statement of Retained Earnings (SRE). Alasannya, pertama, SRE tidak berdampak kepentingan pada entitas yang lebih luas; kedua menunjukkan egoisme yang terlalu sentralistis kepada pemilik saham atau owner; ketiga, memunculkan bentuk ketidakadilan pada stakeholders; ketiga, SRE mirip penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan meningkatnya kolesterol dan memacu penyakit aterosklerosis. SRE jelas hanya dikreasi untuk memunculkan laba ditahan yang dapat menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan pada entitas di luar pemilik saham. SRE sebagai laporan mandatory jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam domain akuntansi syari’ah.
Bentuk laporan keuangan syari’ah dalam makalah ini merupakan usulan awal. Usulan tersebut perlu dielaborasi lebih jauh, seperti komparasi normatif dan keterbatasan sumber data empiris. Terdapat kendala teknis dengan munculnya istilah-istilah baru, seperti pemisahan masing-masing elemen dalam pos ketundukan dan kreativitas, serta bentuk kuantitatif dan kualitatif, yang tidak lazim dalam koridor akuntansi keuangan. Definisi, pengakuan, pengukuran dan penyajian mengenai elemen-elemen utama masing-masing laporan juga perlu pendalaman lebih lanjut.
Agenda ke depan diperlukan penelitian lanjutan mengenai bentuk normatif dan aplikasi Trilogi Laporan Keuangan Syari’ah. Penelitian dapat dilakukan dengan metode kuantitatif, interpretif, kritis, maupun metode lain sesuai kebutuhan. Penelitian konstruktif juga masih diperlukan untuk menjabarkan definisi, pengakuan, pengukuran dan penyajian setiap elemen-elemen Trilogi Laporan Keuangan Syari’ah.
Secara umum laporan keuangan syari’ah dalam penelitian ini berdampak misalnya pada perluasan produk (lembaga keuangan) syari’ah (lihat tabel 2,3 dan 4 serta keterangannya dalam lampiran). Produk syari’ah menurut Mulawarman (2007b) saat ini banyak menggunakan mudharabah dan murabahah. Dua produk ini sebenarnya berasal dari model investasi perdagangan atau “intermediasi dagang” yang banyak digunakan masyarakat Muslim sebelum hijrah. Intermediasi biasanya mendudukkan pemilik modal maupun lembaga intermediasinya (lembaga keuangan) dalam posisi lebih kuat dan cenderung ”berkuasa”. Mungkin inilah salah satu sebab merebaknya sifat kapitalistik Mekkah saat itu, meski hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Dengan demikian diperlukan telaah ”kreatif” produk seperti muzara’ah dan musaqah. Kedua model ini memiliki substansi kerjasama investasi produktif dengan posisi saling kuat dan peduli sosial-lingkungan. Produk lain, yaitu qardhul hassan hendaknya tidak diproyeksikan untuk kepentingan charity. Qardhul hassan perlu dikaji ulang dari prinsip dasarnya, yaitu Qardh, yang lebih berorientasi produktif dan menganut mashlaha sosial-lingkungan. Perluasan produk memiliki konsekuensi pragmatis dalam akuntansi. Standar Akuntansi Keuangan versi IAI perlu mengkaji ulang qardhul hassan. Qardhul hassan semestinya tidak terpisah dari laporan keuangan utama, tetapi perlu masuk dan setara dengan produk lainnya. Model muzara’ah dan musaqah perlu telaah fiqh oleh MUI berkenaan landasan fiqh, IAI berkenaan pengaturan standar, serta mekanisme keuangan dan akuntansi secara operasional oleh perusahaan Islam.
Hanya Allah pusat segala kesempurnaan, pencerahan ilmu, berserah diri dan memohon ampun. Billahittaufiq wal hidayah.
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari’ah Universitas Cokroaminoto Yogyakarta