Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sekitar 227 juta jiwa. Indonesia juga negara yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung stabilitas pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendapatan masyarakat kita juga relatif tinggi, sekitar 3.000 dolar AS per kapita, yang menunjukkan tingginya daya beli.
Di samping itu, kebiasaan berekonomi secara syariah (ekonomi Islam) sesungguhnya telah menjadi bagian dari sosial budaya masyarakat Indonesia sejak dulu, seperti telah dikenal dengan istilah 'sistem paroan' yang sejalan dengan prinsip bagi hasil dalam ekonomi Islam. Minat masyarakat terhadap kegiatan ekonomi Islam khususnya perbankan syariah di Indonesia juga tinggi. Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 89 persen masyarakat kita dapat menerima prinsip syariah.
Sayangnya, dengan berbagai keunggulan di atas, Indonesia hingga kini belum mampu menempatkan diri sebagai pusat keuangan Islam global. Berdasarkan data yang dirilis Zawya (2010), pangsa pasar keuangan Islam Indonesia di dunia hanya sekitar tiga persen, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang penduduk Muslimnya hanya sekitar 28 juta. Pasar keuangan Islam Malaysia memiliki pangsa sekitar 23 persen atau tertinggi di dunia. Selanjutnya diikuti Arab Saudi 19 persen, Kuwait 9 persen, Luksemburg 7 persen, Bahrain 6 persen, Cayman Island 4 persen, Irlandia 4 persen, dan lainnya 32 persen.
Posisi Indonesia dalam pasar keuangan Islam global juga dapat dilihat dari pangsa pasar penerbitan sukuk di pasar global. Selama 2010, total penerbitan sukuk secara global mencapai 1,5 miliar dolar AS atau meningkat 54 persen dibandingkan posisi pada 2009. Malaysia tetap mendominasi sebagai penerbit sukuk terbesar di dunia dengan pangsa pasar sebesar 78 persen dan negara-negara di kawasan Middle East and North Africa (MENA) sebesar 13,4 persen. Sementara itu, Indonesia hanya menguasai sekitar enam persen dari seluruh penerbitan sukuk di dunia.
Rendahnya kontribusi Indonesia dalam sistem keuangan Islam global tersebut tentunya kurang menggembirakan. Rendahnya peran Indonesia dalam sistem keuangan Islam global ini semestinya menjadi catatan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan dalam pengembangan sistem keuangan Islam kita. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam sistem keuangan Islam secara global?
Saya berpendapat, setidaknya dua hal berikut perlu menjadi perhatian jika kita menginginkan Indonesia menjadi salah satu pusat keuangan Islam global. Pertama, perlu dipahami bahwa sistem keuangan Islam bukanlah sebagai pelengkap (complementary) bagi sistem keuangan yang saat ini berlaku di dunia. Kini, sistem keuangan Islam telah menjadi sistem keuangan alternatif yang suatu saat berpotensi mendominasi dalam sistem keuangan global jika sistem ini telah teruji.
Di negara-negara lain, tak terkecuali di negara yang penduduknya mayoritas non-Muslim, perkembangan sistem keuangan Islam kini telah sangat maju. Tidak hanya karena potensi pasarnya yang tinggi, tetapi sistem keuangan Islam juga mampu menjawab setiap kebutuhan para pelakunya. Hampir seluruh jenis kebutuhan investasi dan pembiayaan dapat dipenuhi melalui inovasi skema keuangan Islam. Perlu diingat bahwa sistem keuangan Islam tidak hanya sistem bagi hasil (mudharabah). Sistem keuangan Islam memiliki beragam skema pembiayaan (financing scheme) yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan investor dan pengusaha.
Di Indonesia, perkembangan inovasi keuangan Islam relatif tertinggal. Penyebabnya cukup beragam. Pertama, minat investor asing yang menuntut investasi secara Islam masuk ke Indonesia, khususnya investor dari kawasan MENA, relatif rendah. Akibatnya, inovasi skema keuangan Islam di Indonesia menjadi tidak berkembang. Kedua, iklim investasi di Indonesia kurang kondusif bagi masuknya investor dengan kebutuhan khusus (special demand), seperti investor dengan tuntutan investasi secara Islam. Ketiga, regulasi sektor keuangan kita relatif ketat sehingga inovasi keuangan menjadi terhambat. Kita menyadari bahwa regulasi sektor keuangan yang ketat memang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun, tentunya tetap perlu mengakomodasi kebutuhan untuk meningkatkan pertumbuhan keuangan Islam secara signifikan melalui inovasi yang lebih dipermudah.
Kedua, sistem keuangan Islam bukanlah sistem keuangan inferior sekalipun belum superior di pasar keuangan global. Sistem keuangan Islam kini memiliki tuntutan yang sangat tinggi. Para pemilik modal menuntut perlakuan dengan standar produk dan layanan yang tinggi. Itulah mengapa sistem keuangan Islam justru berkembang pesat di Eropa, Singapura, dan negara-negara pusat keuangan global lainnya sekalipun negara-negara tersebut bukan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Ini mengingat negara-negara di Eropa, Singapura, dan pusat-pusat keuangan lainnya telah memiliki sistem keuangan yang sophisticated, yang memungkinkan para pemilik modal yang menuntut investasi secara Islam dapat terpenuhi seluruh kebutuhannya.
Negara-negara di Eropa, Singapura, dan pusat-pusat keuangan global lainnya adalah negara dengan kualitas investasi yang sangat baik. Sektor keuangan mereka sangat terbuka yang memungkinkan arus masuk dan keluar investasi secara mudah. Mereka juga memiliki infrastruktur dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Iklim investasinya juga sangat mendukung yang dibuktikan dengan indeks daya saing, indeks persepsi korupsi, dan derajat kebebasan berusaha yang baik pula. Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan sektor keuangan yang sangat pesat, termasuk keuangan Islam.
Sebagai perbandingkan, mari kita lihat Indonesia. Sebagaimana pernah saya kemukakan di sini (Republika, 2 Mei 2011), derajat liberalisasi ekonomi di Indonesia sejatinya masih relatif rendah (mostly unfree) atau cenderung tidak bebas (tidak liberal). Di kawasan Asia, peringkat kebebasan ekonomi Indonesia masih kalah dibanding Hong Kong, Singapura, Australia, Selandia Baru, Makau, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand.
Indeks kemudahan berbisnis (doing business index) kita juga relatif rendah. Menurut Bank Dunia, doing business index Indonesia berada di urutan ke-121 dari 183 negara. Sementara itu, sekalipun indek daya saing (global competitiveness index/GCI) Indonesia pada tahun ini meningkat (peringkat 44 atau meningkat dibanding posisi sebelumnya peringkat 54), terlihat bahwa masalah institusi-termasuk di dalamnya sistem hukum dan birokrasi-menduduki peringkat tidak terlalu bagus, yaitu peringkat 61.
Mengingat bahwa para investor berbasis Islam juga menuntut hal-hal yang sama lazimnya berlaku dalam kegiatan investasi, memperbaiki kualitas sistem keuangan dan iklim investasi, termasuk juga meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastrukturnya menjadi hal yang mutlak yang harus kita lakukan. Tanpa hal itu, jangan berharap Indonesia dapat menjadi salah satu pusat keuangan Islam global yang diperhitungkan.
Oleh: Sunarsip
Sumber: Republika