Mungkinkah menuntut secara hukum kasus-kasus plagiarisme? Di dalam diskusi, berkembang pembicaraan tentang kesulitan mengajukan plagiator ke hadapan pengadilan. Daniel Dhakidae, Tamrin Amal Tomagola, dan Seno Gumira Ajidarma masing-masing mengajukan bentuk kesulitan maupun penyebabnya jika akan menuntut plagiator ke meja hijau.
Meskipun plagiarisme itu tampak jelas, tapi kalau dicari tidak ketemu. Sangat tegas untuk urusan etika, tetapi ketika mau diselesaikan tidak bisa. Ini terjadi karena plagiarisme sendiri sebenarnya bukan konsep hukum melainkan konsep etika, ujar Dhakidae.
Ia menunjuk kasus plagiarisme yang menimpa seorang peserta diskusi, Yudhi Soerjoatmodjo. Yudhi, seorang peneliti dan menggeluti bidang fotografi, memaparkan bahwa hasil penelitiannya dipakai oleh seorang penulis tanpa menyebut sumbernya dan tulisan itu diterbitkan oleh sebuah koran nasional.
Yudhi mengirim surat pembaca ke koran tersebut dan sudah ditanggapi oleh penulis yang dituduh plagiator tadi. Surat keduanya juga sudah diterbitkan oleh redaktur koran tersebut. Menurut Dhakidae, agak sulit mengajukan tertuduh ke pengadilan kecuali pihak koran itu berinisiatif membentuk tim yang meneliti apakah tulisan itu hasil plagiarisme atau bukan. ”Tetapi hal itu tidak terjadi,” lanjutnya lagi.
Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma menengarai, kesulitan menuntut plagiarisme secara hukum akan muncul saat sidang di pengadilan, terutama menyangkut pemahaman tentang persoalan yang sedang diperdebatkan. ”Dalam kasus Yudhi itu cukup rumit. Kalau memerhatikan pembelaan atas tindakan plagiarisme, itu menyangkut pemahaman tentang fotografi yang tidak banyak orang mengerti teori-teorinya. Lalu juga ada masalah dalam hal teknis tulisan. Apalagi kalau masalah ini diserahkan ke pengadilan. Siapa yang mengerti materi-materi tersebut?” paparnya lebih lanjut.
Kesulitan yang sama juga muncul di bidang musik. ”Pencurian di bidang musik Indonesia itu luar biasa. Bisa dibilang ini adalah wilayah hantu-blao, susah luar biasa. Tidak ada pengadilannya. Paling jauh yang bisa dilakukan adalah mengirim surat pembaca ke media dan kalau beruntung akan dimuat dan dijawab oleh si tertuduh. Setelah itu, selesai,” urai Dhakidae.
Meski demikian, beberapa peserta diskusi melihat bahwa tindak plagiarisme tetap bisa diajukan ke meja hijau karena memiliki landasan yang kuat. ”Tindak plagiarisme dapat dimasukkan ke dalam tindak pencurian hak cipta yang di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi dan atas hak moral,” kata Yudhi. Pendapat ini disetujui pula oleh Ignatius Haryanto, seorang peneliti media, ”Bila mengaitkan hak kekayaan intelektual dengan konsep plagiarisme, maka terjadi dua pelanggaran, yaitu pelanggaran atas hak pengakuan terhadap atribusi seseorang yang telah membuat karya tertentu dan sekaligus melanggar hak ekonomi. Ini termasuk juga musik sebagai karya cipta seseorang.”
Dengan landasan pengertian ini, Yudhi mengungkapkan bahwa ia pernah memenangi gugatan atas kasus pencurian hak cipta terhadap karyanya. Dimensi pelanggaran hak ekonomi memungkinkan kasusnya dihadapkan ke muka pengadilan. ”Saya juga memenangkan proses negosiasi biasa dengan media massa yang menjadi tertuduh,” ujar Yudhi. Ini berarti, penyelesaian tindak plagiarisme melalui jalur hukum sebenarnya dimungkinkan karena adanya dua unsur tadi.
Di wilayah akademik, di mana tindak plagiarisme tumbuh subur (lihat tulisan ”Pembajak Bertoga di Sarang Ilmu”), belum pernah diselenggarakan sidang pengadilan terbuka terhadap plagiator. Tamrin Amal Tomagola yang membeberkan beberapa kasus plagiarisme di lingkungan kampus mengungkapkan adanya faktor ketidaktahuan terhadap etika kutip-mengutip karya orang lain, keengganan dari pihak yang karyanya dijiplak untuk menuntut plagiator, maupun budaya ewuh-pakewuh untuk membuka aib di depan publik membuat agak sulit membawa tindak plagiarisme ke pengadilan. Situasi ini sangat berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat, misalnya. Menurut Dhakidae, ”Di universitas- universitas Amerika Serikat itu benar-benar ada mahkamah yang bersidang persis sidang pengadilan negeri. Ada jaksa penuntut, ada pembela dan tertuduh plagiator.”
Lantas, apakah plagiator yang tidak dituntut secara hukum bisa terus leluasa melenggang? Ternyata tidak. Dalam banyak kasus, para tertuduh mendapatkan sanksi sosial yang cukup keras sehingga mengakibatkan mereka hilang dari peredaran. Dhakidae menyebutkan beberapa contoh tertuduh plagiator, seperti JM van der Kroef, seorang ahli Indonesia yang sangat terkenal di tahun 1950 hingga 1960-an, kandidat profesor Universitas Indonesia dalam ilmu politik, serta mantan menteri pendidikan masa Gus Dur. ”Tuduhan plagiator membuat nama mereka hilang dari academic community. Berbagai jurnal dari seluruh dunia tidak lagi mau memuat tulisan-tulisan mereka, dan umumnya mereka hanya berbicara di lingkungan terbatas,” katanya.
Peserta diskusi lainnya, Ayu Ratih, seorang aktivis perempuan dan peneliti sejarah, menggarisbawahi tentang pentingnya jurnal publik yang berwibawa yang bisa menjadi wadah bagi intelektual menuangkan gagasan-gagasan akademiknya. ”Di dalam jurnal ini, para sarjana dapat bertukar pikiran dan bisa bergumul dalam arti sangat serius untuk bidang akademi,” ujarnya. Melalui jurnal ini pula dapat dibangun peer-reviewers di kalangan intelektual maupun masyarakat umum sehingga etika akademik pun dapat dikembangkan.
Saat ini, sejumlah jurnal terbit di lingkungan sangat terbatas, seperti kampus atau lembaga swadaya masyarakat. Ruang publik yang tersedia hanyalah halaman-halaman terbatas di surat kabar sehingga membuka peluang untuk mengabaikan etika akademik.
”Barangkali sudah saatnya menghidupkan kembali jurnal publik seperti Prisma yang pernah disegani di awal 1970-an sampai 1990-an,” ujarnya lagi. Ya, sebuah jurnal yang disegani tentunya bisa terus mengasah, seperti paparan Dhakidae, originalitas terbatas, kejujuran akademis semaksimum mungkin, dan dorongan untuk memberikan kontribusi intelektual bagi kehidupan bangsa.
Oleh: BI Purwantari/ Litbang Kompas