Siapa nyana Guru Besar ekonomi Harvard University, Jeffrey Frankel, ketika menyampaikan hasil risetnya di Bali, beberapa hari yang lalu, merujuk kepada kisah Nabi Yusuf. Kisah tentang tafsir tujuh sapi kurus dan tujuh sapi gemuk. Alkisah, ketika NabiYusuf AS difitnah dan dipenjara, Raja Mesir ketika itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.
Mimpi itu begitu merasuki pikiran sang Raja sehingga ia memerintahkan cerdik pandai di negeri itu untuk memberikan tafsiran atas mimpinya. Tak satu pun di antara mereka yang dapat memberikan makna dari mimpi, sampai akhirnya seorang pelayan istana menanyakan hal itu kepada Nabi Yusuf AS yang sedang di penjara.
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapi tahun-tahun sulit, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kamu simpan. Kemudian setelah itu, akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur."
Profesor Jeffrey Frankel mengamati pola dengan siklus yang sama. Beliau mengemukakan selama tujuh tahun dari tahun 1975-1981 terjadi oil booming yang menyebabkan negara-negara penghasil minyak menjadi kaya raya. Sejak itulah dikenal istilah petro dolar dan emas hitam untuk menggambarkan kelimpahruahan negara-negara kaya minyak. Namun, segera setelah itu terjadi krisis utang global pada 1982.
Pola yang sama terulang pada 1990-1996 ketika terjadi emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa selama tujuh tahun. Sejak itu pula, dikenal istilah Asian Tigers dan Asian economic miracles. Namun, segera setelah itu, terjadi krisis ekonomi Asia pada 1997.
Pola yang sama kembali terulang pada 2003-2008 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Selama tujuh tahun, pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Namun, segera setelah itu, terjadi krisis keuangan global pada 2009.
Siklus ekonomi tujuh sapi kurus dan tujuh sapi gemuk tetap merupakan tantangan para ekonom untuk mengantisipasinya. Ada dua pertanyaan besar tentang siklus ini. Pertama, apakah siklus ini dapat diubah polanya, dipercepat atau diperlambat, atau memang sudah demikian pola siklusnya. Pertanyaan pertama ini tentang jangka waktu siklus.
Kedua, apakah kedalaman krisis dan ketinggian booming dapat diatur agar ketika krisis kedalamannya dangkal dan ketika booming pertumbuhannya fantantis. Pertanyaan kedua ini tentang amplitudo/besaran krisis dan booming.
Sampai saat ini para ekonom masih terus mengembangkan berbagai teori dan menyiapkan berbagai strategi kebijakan untuk menjelaskan pertanyaan pertama. Namun, yang jauh lebih menarik adalah upaya para ekonom mengembangkan teori dan berbagai strategi kebijakan untuk menjelaskan pertanyaan kedua.
Sebagian besar ekonom malah memfokuskan diri pada upaya menjawab pertanyaan kedua ini. Serangkaian teori ekonomi terapan dikembangkan untuk membuat agar amplitudo krisis jauh lebih kecil daripada amplitudo booming. Kelompok ekonom ini lebih memfokuskan agar pola amplitudonya tidak simestris, tidak sama besarnya antara krisis dan booming.
Salah satu dari banyak cabang pemikiran ekonom dalam kelompok ini percaya bahwa keterkaitan antara pertumbuhan sektor riil dan pertumbuhan sektor keuangan merupakan kunci jawabannya. Dari kelompok ekonom inilah muncul istilah buble economy yang akan muncul bila pertumbuhan sektor keuangan terlepas dari sektor riil.
Kelompok ekonom ini pula yang selalu mengingatkan bahaya akan terjadinya ketidak- stabilan ekonomi bila terjadi decoupling (keterpisahan) antara sektor riil dan sektor keuangan.
Dalam kerangka berpikir ekonom kelompok ini, sistem ekonomi Islam dengan berbagai peranti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dipandang sebagai suatu sistem yang tangguh dan handal untuk mencapai tujuan kecilnya amplitudo krisis dan besarnya amplitudo booming.
Falsafah ekonominya sederhana, bila pertumbuhan itu didasari oleh pertumbuhannya, pertumbuhan yang nyata. Bila pertumbuhannya nyata, amplitudo krisis akan kecil. Bagaimana dengan amplitudo booming yang besar? Kelompok ini percaya bahwa konsumsi domestik untuk jangka pendek dan pembangunan infrastruktur untuk jangka panjang merupakan jawabannya.
Dalam kaitan inilah, sistem ekonomi Islam mendapat tempat dalam kajian-kajian ekonomi mainstream, bahkan di universitas-universitas terkemuka dunia. Dalam kaitan ini pula, kita mengharapkan ekonomi Islam dapat lebih diterima dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang paling tepat sebagai tempat percontohan keberhasilan ekonomi Islam karena memenuhi dua kriteria utama yang diyakini oleh para ekonom, yaitu besarnya kekuatan konsumsi domestik dan besarnya peluang pembangunan infrastruktur. Masih minimnya transaksi derivatif di Indonesia menambah keyakinan para ekonom bahwa Indonesia memang tempat yang paling menjanjikan.
Tujuh sapi kurus dan tujuh sapi gemuk akan kembali berulang siklusnya. Inilah saatnya Indonesia bersiap menghadapinya dengan lebih terbuka terhadap penerapan nilai-nilai Islam dalam perekonomian. Jazirah Arab di jaman jahiliyah memang luar biasa jahiliyahnya, tetapi di situlah bangkit dan bersinar cahaya Islam. Indonesia saat ini memang luar biasa kerumitannya, tetapi insya Allah di sinilah bangkit dan bersinar kembali cahaya Islam.
Oleh Adiwarman A Karim
Sumber: Republika