Menyalurkan Zakat Secara Bermartabat

Sungguh tidak pernah terbayangkan niat baik H Syaichon (50 tahun), pengusaha kulit, jual beli mobil dan sarang burung wallet, warga Jl Dr Wahidin RT III/IV Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur, untuk membagikan zakat kepada fakir miskin berbuah tragedi. Akibat berdesak-desakan, pembagian zakat itu justru menewaskan 21 orang calon penerima zakat dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. (Republika, Selasa 16 September 2008).


Mudah-mudahan musibah ini merupakan yang terakhir kali karena memang zakat disyariatkan Allah SWT untuk menyejahterakan masyarakat, mengeliminir, dan meminimalkan kemiskinan umat, serta memanusiakan manusia secara keseluruhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat pedih."

Hadis tersebut di atas memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama kelompok kaya dengan kelompok miskin. Lapoe dan Colin, serta George dalam Hafidhuddin (1998) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk.

Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, atau paling tidak dapat diperkecil (Hafidhuddin, 1998). Dalam Alquran dan hadis, zakat, infak dan sedekah di samping sering digandengkan dengan shalat, juga digandengkan dengan kegiatan riba. Misalnya dalam QS Ar-Rum: 39 dan QS Albaqarah: 276. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi ZIS akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.

Salurkan ke amil amanah
Satu-satunya ibadah yang secara eksplisit ditegaskan dalam Alquran yang ada petugasnya adalah zakat. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam QS At-Taubah [9] ayat 60 dan 103. Karena itu, zakat bukanlah semata-mata urusan pribadi muzakki dengan mustahiq. Tetapi, urusan kelembagaan (institusi). Ini karena zakat adalah titipan umat yang harus dikembalikan kepada umat. Di dalamnya ada unsur penghimpunan, penyaluran, dan pelaporan yang bertanggung jawab.

Pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat, tidak pernah terjadi zakat disalurkan langsung dari muzakki kepada mustahiq, tetapi selalu melalui amil, seperti yang beliau perintahkan kepada sahabatnya, Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib. Paling tidak ada lima manfaat jika zakat disalurkan melalui amil.

Pertama, lebih sesuai dengan petunjuk Alquran, sunah Rasul, para sahabat, dan para tabi'in. Kedua, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Ketiga, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki . Keempat, untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Kelima, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.

Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahiq, meskipun secara hukum syariah adalah sah, tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat. Terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan.

Sinergi sesama komponen zakat
Pada sisi lain, peristiwa di Pasuruan mengisyaratkan agar BAZ dan LAZ, di samping selalu terus-menerus meningkatkan kinerja dan pendistribusiannya, juga harus aktif terjun melihat dan mendata daerah-daerah yang termasuk kantong-kantong kemiskinan. Para pengurus BAZ dan LAZ tidak boleh diam menunggu datangnya muzakki dan mustahiq ke kantornya. Tetapi, harus datang ke tengah-tengah masyarakat, mendata para muzakki dan mustahiq.

Dengan data-data tersebut, diharapkan BAZ dan LAZ bisa membuat aksi penyaluran zakatnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentu saja hal ini akan berjalan dengan baik apabila ada sinergi antarsemua komponen masyarakat dan umat, para kiai, tokoh masyarakat, pemerintah, dan juga antara sesama BAZ dan LAZ itu sendiri.
Mari kita wujudkan penyaluran zakat yang bermartabat. Tentu melalui BAZ dan LAZ yang amanah, transparan, profesional dan bertanggung jawab.

Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional

Klik suka di bawah ini ya