Zakat Sebagai Instrumen Pemberdayaan

Sebagaimana perayaan Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan tahun ini ditandai oleh kewajiban penunaian zakat fitrah untuk menggenapkan amalan puasa yang telah dilaksanakan. Selain zakat fitrah, umat Islam biasanya juga menunaikan bentuk-bentuk zakat lain selama Ramadhan. Zakat sendiri adalah satu bentuk kewajiban yang agung dalam Islam. Dalam Alquran, perintah menunaikan zakat beberapa kali disandingkan dengan perintah shalat. Zakat juga unik karena merupakan gabungan ibadah yang bersifat individual-ubudiah dan sekaligus sosial-ijtimaiah.


Dari sisi ubudiah, tata aturan penarikan dan distribusi zakat diatur secara sangat teliti dalam syariah. Zakat juga mendatangkan banyak kebaikan bagi individu yang menunaikannya dalam membentuk karakter dan mental. Orang yang berzakat hatinya terdidik menjadi suci, sebagaimana arti bahasa dari kata zakat yang artinya suci dan tumbuh. Pembayaran zakat pun adalah perwujudan rasa syukur yang produktif. Dengan berzakat seseorang menanamkan kesadaran bahwa di dalam harta miliknya ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Kekayaan pun menjadi suci karena terbebas dari sesuatu yang bukan menjadi hak milik.


Sementara itu, zakat mempunyai arti sosial karena merupakan pemberian sebagian harta kepada orang lain yang berhak atau membutuhkan. Sebagaimana pada sisi ubudiah, pada sisi ini zakat juga memiliki banyak arti penting. Penunaian zakat, misalnya, dapat mengurangi perbedaan antara si kaya dan si miskin. Dengan kata lain, zakat membantu menciptakan kehidupan sosial yang kondusif tanpa hasad dan dengki di dalam umat sehingga meningkatkan persaudaraan kaum Muslim dan meninggikan derajat mereka. Selain itu, zakat juga memiliki fungsi pemberdayaan dalam hal meningkatkan taraf hidup fakir miskin.


Sayang, yang sering dikedepankan dalam praktik masyarakat adalah fungsi zakat dari sisi ubudiah, di mana penunaian zakat lebih dipandang sebagai satu bentuk ibadah vertikal untuk semata kebaikan dari individu penunai zakat. Sementara aspek sosial dari zakat kerap terlupakan atau coba diusahakan dengan hasil yang kurang maksimal. Padahal, dalam konteks masyarakat dengan pembangunan ekonomi yang tengah digalakkan kini, fungsi zakat secara sosial lebih terasa memiliki urgensi untuk dikedepankan.


Pembangunan sering menyebabkan banyak masyarakat mengalami ketertinggalan sehingga terjadi jurang ketimpangan pendapatan yang perlu dijembatani. Begitu juga, terlepas dari upaya keras yang terus dilakukan pemerintah, masih terdapat banyak orang miskin yang perlu diberdayakan dan diangkat taraf hidupnya ke tempat yang lebih layak.


Dalam hal ini, zakat memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi jembatan sosial dan sarana pemberdayaan fakir miskin. Satu estimasi yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Asian Development Bank (ADB) menyebut angka potensial penyerapan zakat nasional sebesar Rp 217 triliun per tahun. Angka ini lebih dari dua kali lipat jumlah yang disediakan pemerintah setiap tahunnya untuk mengentaskan kemiskinan, yang pada 2011 berjumlah Rp 87 triliun.


Dengan anggaran sebesar ini, pemerintah mampu mengurangi angka kemiskinan sebesar satu persen sampai dengan 1,5 persen dari total penduduk, atau 2,5 juta sampai dengan 3,6 juta orang bisa dientaskan dari kemiskinan. Dengan maksimalisasi potensi zakat yang ada, terdapat potensi pengurangan angka kemiskinan tambahan lebih dari dua kali lipat dari yang sudah ada, atau 3% sampai dengan 4,5% dari total penduduk, atau 7,2 juta sampai dengan 11 juta orang miskin berpotensi untuk naik kelas.


Dengan kata lain, tidak kurang dari sepertiga jumlah orang miskin bisa ditingkatkan taraf hidupnya dalam setahun apabila terdapat optimalisasi potensi zakat yang ada. Sehingga, dengan upaya yang sungguh-sungguh, bukan mustahil seluruh orang miskin di Indonesia bisa ditingkatkan taraf hidupnya dalam hanya kurun waktu tiga tahun. Penjabaran angka-angka ini tentu saja merupakan satu hal ideal di atas kertas. Dalam praktiknya, upaya maksimalisasi potensi zakat hanya bisa dilakukan secara bertahap. Dewasa ini, jumlah aktual zakat yang bisa direalisasikan baru sebesar Rp 1,5 triliun rupiah per tahun, atau kurang dari satu persen potensi yang ada.


Kecilnya angka realisasi itu tentu saja bukan alasan untuk berkecil hati. Sebab, setiap upaya untuk memfungsikan zakat sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat akan memperbesar secara berangsur realisasi aktual. Selama ini masih banyak masyarakat mempertanyakan hasil kongkret dari zakat yang mereka tunaikan sehingga tidak mengherankan bila kewajiban berzakat sekadar dilakukan untuk menggenapkan amalan, seperti berzakat fitrah setelah puasa Ramadhan, sementara zakat dalam bentuk lain cenderung kurang dihiraukan.


Persoalan klasiknya kemudian adalah bagaimana meningkatkan profesionalitas dari pengelolaan zakat. Dalam hemat saya, ada dua unsur pokok yang senantiasa harus terus dibenahi untuk mengoptimalisasikan potensi zakat yang ada, yakni peraturan dan sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan zakat.


Dari segi peraturan, urusan zakat diatur dalam Undang-Undang (UU) Zakat No 38/ 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Kedua aturan ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan UU Zakat No 38. Saat ini proses untuk merevisi UU Zakat No 38/1999 telah dimulai. Hasil revisi UU ini berikut penjabarannya nanti diharapkan dapat memperkuat sisi regulasi zakat, baik pada aspek pengelolaan maupun akuntabilitas serta pengawasan.


Revisi UU diharapkan dapat memberikan setidaknya dua hal: arahan yang jelas dalam upaya peningkatan mutu pengelolaan zakat berikut indikator pencapaiannya serta menegaskan secara eksplisit fungsi regulasi dan pengawasan zakat yang selama ini belum maksimal. Tentu, ada beberapa aspek lain yang perlu mendapat perhatian dalam revisi perundang-undangan, akan tetapi kedua hal ini yang merupakan prioritas.


Sementara dari segi sumber daya manusia, mutu pengelola zakat harus terus ditingkatkan, terutama pada level pengelola di tingkat nasional. Mereka sudah seyogianya merupakan profesional tidak hanya di bidang syariah, tetapi juga yang mahir dan paham akan seluk-beluk dunia investasi dan keuangan. Pengelola di daerah tentu tidak serta-merta dilupakan. Mereka adalah ujung tombak pertama yang berhadapan langsung dengan masyarakat.


Singkatnya, terdapat potensi yang besar dari zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sampai sejauh mana potensi ini bisa dioptimalkan, tentu itu bergantung pada inisiatif dan kerja keras kita semua. Bila ini terjadi, berkah ibadah Ramadhan tidak akan berhenti hanya sehabis puasa, tetapi untuk seterusnya dan dinikmati oleh masyarakat secara merata. Insya Allah.


Oleh: Anas Urbaningrum, Mantan Ketua PB HMI
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya