Islam: Pro-Kapitalisme atau Sosialisme?

Sejak Max Weber menulis Protestant Ethics and Capitalism, banyak orang kadung mengidentikkan mentalitas kapitalisme dengan nilai-nilai Protestan. Berbeda 180 derajat, Islam justru dipandang sebagai agama yang mengemohi kapitalisme. Terlebih, jika mendengar ucapan terkenal Iqbal bahwa "Sosialisme plus Tuhan itu adalah Islam."

Benarkah demikian? Pertanyaan ini menjadi penting bagi kita mengingat Indonesia, meski tidak berdasarkan Islam, berpenduduk mayoritas Muslim. Jawaban pertanyaan ini tak pelak akan mengundang refleksi serius tentang sistem perekonomian yang semestinya dianut bangsa ini.

Rodinson versus Rahardjo
Kapitalisme biasanya dicirikan dengan pemilikan perorangan atas alat-alat produksi, kebebasan berusaha, pengejaran laba sebagai motif utama dalam kegiatan ekonomi, produksi untuk pasar, ekonomi uang, mekanisme persaingan, rasionalitas dalam perilaku usaha. Pendeknya, sari pati kapitalisme adalah rasionalitas. Sebab, dengan rasio itulah manusia melakukan kalkulasi untung-rugi.

Pada titik inilah, ungkap Max Rodinson dalam Islam and Capitalism (1977), Islam sejatinya tidak bertentangan dengan kapitalisme. Bahkan, Alquran sangat mengagungkan rasio sebagai sendi kapitalisme. Tak kurang kata rasio (aqala) disebut sekitar 50 kali dalam Alquran. Juga, kalimat "Apakah kalian tidak berpikir" diulang 13 kali. Sejumlah hadis pun memberikan keutamaan pada profesi perdagangan yang identik dengan kapitalisme. Sebagai contoh, ada hadis "Pedagang yang jujur akan duduk berdampingan dengan para nabi, pahlawan, dan orang-orang yang adil di hari kiamat." Atau, "Satu dirham yang diperoleh dari perdagangan itu lebih baik daripada satu dirham yang diperoleh dengan cara lain." Artinya, Alquran dan Islam memuji mereka yang memperkaya diri agar bisa membantu orang lain.

Namun, di sisi lain, Dawam Rahardjo dalam Etika Ekonomi dan Manajemen (1990) mengemukakan, teologi Islam kritis berpandangan bahwa Allah adalah satu-satunya yang patut disembah sehingga di luar Allah hanya ada makhluk. Dampaknya, Islam menganut pandangan egalitarian bahwa semua orang sama di mata Allah. Oleh karena itu, umat manusia harus melepaskan segala belenggu yang memperbudak dirinya.

Kritik sosial Islam ini pada hakikatnya ditujukan pada masyarakat Makkah yang memiliki corak kapitalistis yang kental. Menurut Alquran, masyarakat Makkah gemar melakukan akumulasi kapital. Maka dari itu, hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah dapat diartikan sebagai keinginan Islam membangun masyarakat baru yang bukan kapitalistis.

Memang berbeda dengan Makkah, Madinah waktu itu belum membentuk formasi sosial ekonomi yang baru. Di Madinah, tidak ada pedagang kaya dan tanah saat itu milik kolektif marga atau suku. Lembaga pemilikan perorangan pada umumnya tak dikenal. Dengan kata lain, struktur sosial Madinah kala itu memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai egalitarian Islam. Tugas umat atau manusialah untuk membongkar segala struktur alias bangunan infrastruktur ekonomi dan suprastruktur ideologi yang menghambat realisasi masyarakat egaliter tersebut. Singkatnya, Islam lebih bercorak sosialistis.

Lebih condong ke mana?
Pertanyaannya sekarang, beranjak dari polemik teoretis di atas, Islam lebih condong ke mana? Menurut hemat penulis, ada satu konsep yang patut dielaborasi lebih jauh apabila kita berbicara tentang Islam.

Yakni, konsep ummah atau umat. Berdasarkan konsep umat, manusia memang dibenarkan memiliki ikhtiar pribadi untuk memajukan kepentingan dirinya sendiri. Asalkan, itu semua dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas (umat). Jadi, manusia melakukan usaha individualnya bukan dengan mengandalkan pada mekanisme invinsible hand yang diyakini akan membereskan masalah kesejahteraan secara otomatis.

Sebaliknya, manusia melakukan itu dengan sadar untuk membantu sesama warga. Ini selaras dengan pendapat Haikal dalam Al-Hukumatul Islamiyah (Pemerintahan Islam) bahwa Islam adalah sosialisme positif yang tidak mengabaikan kepemilikan pribadi.

Kendati demikian, memang di dalam ummah selalu ada pihak-pihak rakus yang ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Lewat perumpamaan memikat, Ali Syari'ati dalam Tentang Sosiologi Islam (1990) mendeskripsikan anasir-anasir jahat itu sebagai kekuasaan korup (diibaratkan sebagai Fir'aun), agama candu (Bal'aam), dan kaum kapitalis pemupuk laba (Qarun). Dengan kata lain, memang di dalam ummah sendiri terdapat kelas penindas yang menindas kelas tertindas (mustadh'afin).

Nah, mengingat konflik kelas adalah ciri tak terpisahkan dari sosialisme, itu berarti Islam lebih condong kepada sosialisme. Analisa Dawam tentang perbedaan masyarakat Makkah (kapitalis) dan Madinah (sosialis) beserta formasi struktural yang ada di kedua masyarakat tersebut tampil lebih kuat ketimbang pendapat Rodinson yang melandaskan diri pada aspek rasionalitas belaka. Hanya saja, sosialisme Islam dengan konsep ummah-nya jelas memiliki perbedaan dengan sosialisme Barat.

Pada dasarnya, Islam hanya mengamini sosialisme yang bertujuan menciptakan kondisi sosial-ekonomi yang mengembangkan potensi pribadi manusia. Jadi, jika ada negara sosialis-seperti negara sosialis-komunis-yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, Islamlah paham yang akan ada di garis depan menentangnya. Sosialisme Islam, karena itu, merupakan sosialisme kritis yang memberikan kritik mendasar terhadap semua pola pembangunan yang memasung individualitas manusia.

Konsekuensi logisnya, negara kita mesti menerapkan prinsip-prinsip sosialisme yang mengedepankan jaminan sosial bagi seluruh warganya, pemerataan pendapatan, dan langkah-langkah sosialistis lainnya. Lagipula, watak sosialisme perekonomian Indonesia sebetulnya sudah digariskan para founding fathers kita. Mintz dalam Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia (2002) sampai-sampai mengatakan, Haji Agus Salim, Gubernur BI pertama Sjafruddin Prawiranegara, dan tokoh Masyumi lainnya adalah penganut sosialisme religius yang menghapus individualisme, merangsang inisiatif dan tanggung jawab individu, tidak setuju dengan penghapusan kelas, dan justru menjamin kemerdekaan individu.

Jadi, kita tidak perlu alergi dengan label "sosialisme". Menyitir mantan PM China Deng Xiaoping, "Tak peduli kucing itu putih atau hitam, yang penting dia bisa menangkap tikus." Lihat saja, pascakrisis global, banyak pemerintahan bercorak sosialis menuai sukses. Contoh terpopuler, keberhasilan mantan Presiden Brazil Lula da Silva melejitkan kesejahteraan rakyat dengan program-program seperti layanan kesehatan gratis, tunjangan sosial (Bolsa Familia), kredit berbunga rendah bagi orang miskin, dan lain-lain.

Satrio Wahono, Sosiolog dan Magister Filsafat UI

Klik suka di bawah ini ya