Determinan Inflasi Indonesia: Perbandingan Pendekatan Islam dan Konvensional

Abstract

Inflation is a monetary phenomenon which always be a problem for the economist in every country. The determinant factor of increasing price can be analyzed to get the best solution. Islamic and conventional economic have different paradigm about solution that should be done. This study try to analyze the determinant of Indonesian inflation with two approaches model using Vector Auto Regression (VAR) and Vector Error Correction Model (VECM) methods.
The results of variance decomposition, show that contribution of independent variable in Islamic model is greater than conventional one with 14.8 percent and 7.4 percent, respectively. Other findings show that interest rate gives positive influence and dominant contribution to IHK than other variables both, in Islamic model (13%) and mixed model (39%). Therefore, interest system in the Indonesian economy should be reconsidered to achieve monetary stability.

JEL Classification: C32, E31, E52
Keyword: Determinan Inflasi, Sistem Moneter, VAR/VECM




I.    PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).
Secara empirik, pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari krisis tahun 1997-1998 yang mengakibatkan terganggunya sektor riil. Krisis ini diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar rupiah dengan dolar) yang kemudian merambat kepada semua sektor tanpa terkecuali. Tingkat Inflasi ketika itu sebesar 77,60% yang diikuti pertumbuhan ekonomi minus 13,20%. Adapun terganggunya sektor riil tampak pada kontraksi produksi pada hampir seluruh sektor perekonomian. Tahun 1998, seluruh sektor dalam perekonomian (kecuali sektor listrik, gas, dan air bersih) mengalami kontraksi. Sektor konstruksi mengalami kontraksi terbesar yaitu 36,4%. Disusul kemudian sektor keuangan sebesar 26,6% (Hatta, 2008).
Dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga stabilnya nilai mata uang, pemerintah dan otoritas moneter yang ada mengambil beberapa kebijakan baik dari segi moneter, fiskal, maupun sektor riil. Dari segi moneter, bank sentral akan menaikkan suku bunga dan pengetatan likuiditas perbankan, mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter, mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi dan memformulasikan respon kebijakan moneter.
Namun, dari paparan di atas, hakikatnya otoritas moneter hanya sebatas menyentuh permasalahan teknis atau gejala (symptom) semata. Sebaliknya, perpaduan kebijakan yang digunakan menimbulkan krisis bertambah parah. Solusi yang ditawarkan oleh para ahli dalam memecahkan permasalahan inflasi dan pengangguran secara bersamaan justru menyebabkan efek samping yang lebih buruk dari penyakitnya itu sendiri. Ini terjadi dikarenakan “obat” yang diberikan hanya sebatas menghilangkan penyakit bagian permukaan saja, sementara penyakit bagian dalamnya masih belum disembuhkan.
Penyakit bagian dalam yang belum tersentuh oleh perpaduan kebijakan di atas adalah terkait dengan hakikat mata uang itu sendiri dan sistem yang melingkupinya serta penyalahgunaan dari fungsi dasar uang sebagai alat tukar yang bertambah menjadi tidak hanya sebatas sebagai alat tukar, melainkan juga menjadi sebuah barang (komoditas) yang turut diperdagangkan dengan imbalan bunga (interest).
Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dan sebagainya. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih parah, mendalam dan serius.
Lebih khusus di Indonesia, tren inflasi memperlihatkan keadaan yang cukup labil bahkan -pada satu keadaan- mencapai titik yang amat tinggi (hiperinflasi). Misalnya pada saat menjelang jatuhnya Orde Lama yang mencapai ratusan persen, atau fenomena ‘Krisis Moneter 1997’. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah dengan Bank Indonesia sebagai kekuatan pemegang kendali moneternya, cukup kerepotan mengatasi masalah yang satu ini. Maka tidak sepenuhnya salah jika kita mengatakan bahwa inflasi adalah sebuah penyakit ekonomi.

I.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model-model determinan inflasi konvensional maupun Islam dan mencoba membuktikan apakah variabel-variabel yang ditawarkan penulis, cukup signifikan sebagai faktor determinan inflasi di Indonesia. Studi ini akan mengidentifikasi pengaruh beberapa faktor yakni: suku bunga, seigniorage, uang giral yang diciptakan bank akibat Fractional Reserve Banking System (FRBS), serta transaksi kartu kredit terhadap tingkat inflasi di Indonesia, yang dikomparasikan kontribusinya dengan model determinan inflasi konvensional.

I.3 Data dan Metodologi
Studi ini menggunakan metode kuantitatif berupa Vektor Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error Correction Model (VECM), apabila terdapat kointegrasi. Sebelumnya, data yang tersedia akan melalui beberapa uji, yakni: uji unit root, uji stabilitas model dan uji kointegrasi. Kurun waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Januari 2002 sampai dengan Mei 2008. Data yang digunakan berupa data bulanan yang diambil dari berbagai institusi, terutama Bank Indonesia.

II.    TEORI
II.1 Konsep Inflasi Menurut Konvensional
Inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli. Inflasi sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan atau investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang. (Budiono, 1989). Sementara Nopirin (1998) mengartikan inflasi sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum dan terus-menerus, dalam waktu dan tempat tertentu. Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian negara, selain pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran.
Secara teori, timbulnya inflasi dapat dikarenakan oleh beberapa hal. Menurut Soediyono dalam Setyawan (2000), dari sebabnya inflasi dapat timbul karena adanya peningkatan permintaan masyarakat (demand pull inflation), karena desakan naiknya biaya produksi (cost push), serta karena keduanya (mixed inflation). Beberapa determinan inflasi yang masuk ke dalam jenis demand-pull inflation antara lain: likuiditas perekonomian yang ditandai dengan meningkatnya jumlah uang beredar, harga minyak mentah, nilai tukar rupiah yang terapresiasi, produktivitas, hingga jenis inflasi dari permintaan musiman (hari raya idul fitri, tahun baru). Sementara yang termasuk penyebab inflasi jenis cost-push ini adalah: depresiasi nilai rupiah, volatile food inflation (paceklik), kenaikan upah minimum provinsi oleh pemerintah (UMP), dan determinan inflasi lain dari jenis administered inflation seperti: kenaikan harga BBM, tarif listrik, harga rokok dan bea masuk impor bahan baku dan peralatan.

II.2 Model Determinan Inflasi
Untuk memahami penyebab (determinan) inflasi di negara-negara di dunia, beberapa model berikut biasa digunakan untuk menjelaskan terjadinya inflasi. Menurut Setyawan (2000), model-model determinan inflasi itu adalah: Model Keynesian, Model Ekspektasi, Monetaris, Kepemimpinan-Gaji, Strukturalis, dan Model Neostrukturalis. Empat model yang disebutkan pertama, banyak digunakan untuk meneliti masalah inflasi di negara-negara maju, sementara dua model terakhir banyak digunakan untuk meneliti masalah inflasi di negara berkembang, sedangkan model monetaris banyak digunakan baik di negara maju maupun berkembang.
a. Model Keynesian
Model ini tampaknya lebih menitikberatkan penyebab terjadinya inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation), dengan pemikiran dasar bahwa inflasi terjadi karena terjadi ekses permintaan. Hal ini dapat terjadi karena permintaan yang bertambah, sementara jumlah produksi (dan tentu saja kesempatan kerja) relatif tetap, atau berjalan lebih lambat, akibatnya sisi penawaran tidak mampu mengimbangi permintaan yang ada, sehingga garis permintaan bergeser ke atas dan harga naik.
b. Model Ekspektasi
Di dalam meneliti masalah inflasi, model ini menggunakan asumsi dasar bahwa masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya memiliki perkiraan, harapan, dan dapat mengantisipasi terjadinya kenaikan harga dengan bertindak secara rasional. Masyarakat akan menggunakan seluruh informasi yang berkaitan dengan masalah kenaikan harga untuk bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan ekonominya.
c. Model Monetaris
Seperti halnya model Keynesian, model Monetaris ini juga melihat penyebab inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation), namun penyebab utama ekses permintaan adalah adanya uang beredar dalam arti sempit (M1). Seperti diketahui bahwa meningkatnya uang beredar akan meningkatkan permintaan agregat, yang apabila tidak diimbangi dengan tersedianya produksi yang memadai akan menimbulkan ekses permintaan yang berarti terjadi kenaikan harga.
d. Model Kepemimpinan-Gaji
Apabila model Keynesian dan Monetaris lebih melihat penyebab kenaikan harga dari sisi permintaan, maka model ini mempercayai bahwa penyebab kenaikan harga adalah terjadinya kenaikan gaji (tuntutan dari serikat buruh atau peraturan pemerintah) pada industri-industri yang utama, yang kemudian diikuti oleh industri-industri lainnya. Kenaikan gaji ini tentu saja akan berdampak pada meningkatnya ongkos produksi, bila industri tersebut tidak dapat melakukan efisiensi di pos biaya produksi lainnya, sehingga harga produk akan naik (cost-push inflation).
e. Model Strukturalis
Sepeti halnya model sebelumnya, model ini percaya bahwa penyebab inflasi adalah dari sisi penawaran (cost-push inflation) di samping tentu saja masalah struktural. Masalah struktural timbul terutama di negara yang ketergantungan pada produk makanan misalnya, masih tinggi (contoh Indonesia), di sisi lain pertumbuhan ekonomi (dan kesempatan kerja) di sektor lain cukup tinggi. Masalah terjadi apabila ada ketimpangan antara jumlah produksi sektor pertanian tidak dapat mengimbangi permintaan pangan dari sektor lainnya.sehingga menyebabkan harga pangan naik. Kenaikan kebutuhan pokok ini dapat mendorong tuntutan kenaikan upah yang tentu saja dapat berakibat naiknya biaya produksi (cost-push inflation). Selain itu, model ini juga melihat ketergantungan industri pada bahan-bahan baku dan penolong impor juga dapat memicu tingginya biaya produksi.
f. Model Neostrukturalis
Ada kaitannya dengan model Monetaris, model ini juga sepakat bahwa jumlah uang menjadi faktor penting penentu besaran inflasi. Hanya saja menurut model ini, pengaruh tersebut melalui proses sebagai berikut: Banyaknya uang yang tersedia untuk investasi akan menyebabkan harga uang tersebut, yaitu tingkat bunga menjadi rendah. Rendahnya tingkat bunga akan mendorong meningkatnya volume investasi, sehingga nilai produksi akan meningkat, dan tentu saja harga akan lebih rendah (inflasi rendah), begitu pula sebaliknya.

II.3 Konsep Inflasi Menurut Islam
Almaqrizi dalam Karim (2004) menyatakan bahwa peristiwa inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat di seantero dunia dahulu, kini, hingga masa mendatang. Inflasi menurutnya terjadi ketika harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Pada saat ini, persediaan barang mengalami kelangkaan dan konsumen, karena sangat membutuhkannya, harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang yang sama.
Karim (2004) mengungkapkan bahwa Almaqrizi jauh hari silam telah membahas problematika inflasi secara lebih detail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal, yakni: Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural Inflation) dan Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation)
a. Inflasi Alamiah
Inflasi ini disebabkan oleh berbagai faktor natural yang sulit dihindari manusia. Menurut Almaqrizi, saat suatu bencana alam terjadi, berbagai bahan makanan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis dan terjadi kelangkaan. Di lain pihak, karena sifatnya yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami peningkatan. Harga-harga kemudian membumbung tinggi, jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini sangat berimplikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan keadaan mereka.
b. Human Error Inflation
Selain faktor alam, Almaqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi akibat kesalahan manusia. Ia menganalisis, ada tiga hal utama yang baik secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama menjadi penyebab terjadinya inflasi. Ketiga hal tersebut adalah: Korupsi dan Administrasi yang Buruk, Pajak yang Berlebihan dan Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus.

II.4 Determinan Inflasi Menurut Islam
Penyebab inflasi menurut Islam terdeskripsi dari pernyataan ulama dan pakar ekonomi Islam generasi pertama. Misalnya, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kenaikan harga (inflasi) akan terjadi apabila barang mengalami kelangkaan (cost-push) atau permintaan yang berlebih (Setiawan, 2007). Sementara Abu Yusuf beranggapan bahwa fluktuasi harga lebih diakibatkan oleh permintaan dan penawaran jumlah uang beredar. Ini mengalami kesesuaian pada zaman sekarang dengan apa yang disebut sebagai ‘model determinan inflasi monetaris’.
Hal lain diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, tidak jarang kenaikan (inflasi) atau penurunan (deflasi) harga diakibatkan oleh kekurangan produksi atau merosotnya produk impor yang dibutuhkan. Artinya, inflasi terjadi akibat sisi penawaran yang terganggu. Dalam dunia ekonomi modern, Ibnu Taimiyyah barangkali masuk ke dalam golongan ‘strukturalis’.
Jika melihat penggolongan tipe inflasi menurut Almaqrizi yakni inflasi alamiah atau natural inflation dan inflasi akibat kesalahan manusia (human error inflation), maka porsi inflasi di era modern saat ini lebih didominasi oleh inflasi jenis unnatural (tidak alamiah) dibanding yang sifatnya alamiah. Sehingga amat mungkin, ketika Almaqrizi melakukan analisis tentang penyebab inflasi Mesir di zamannya tidak menemukan variabel suku bunga atau giral bank sebagai determinan yang signifikan. Penulis kemudian mencoba membagi inflasi jenis unnatural tersebut menjadi dua bagian yakni: (a) yang sifatnya berupa kesalahan manusia atau ‘human error inflation’ seperti yang telah diutarakan oleh Almaqrizi, dan (b) yang sifatnya kesalahan sistem yang dipakai dalam perekonomian atau kita sebut ‘system error inflation’. Penyebab inflasi yang bersifat kesalahan sistem ini pada perkembangannya kemudian menjadi sangat nyata. Umpamanya Meera (2006) mengatakan bahwa terdapat tiga hal fundamental yang menjadi penyebab proses penciptaan uang melalui sektor bank yang kemudian berdampak besar terhadap terjadinya inflasi di sebuah negara, yaitu: (1) Bunga, (2) Uang fiat termasuk di dalamnya uang kertas dan uang bank, dan (3) Sistem cadangan sebagian bank komersial. Ketiga faktor tersebut juga dijelaskan oleh beberapa penulis seperti Chapra (2001), Siregar (2001), Mankiw (2003), Triono (2006), Sakti (2007), Iqbal (2007), Amin (2007), dan Ascarya (2007).
Di samping ketiga hal tersebut (bunga, seigniorage, dan FRSB), terdapat entitas lain yang diduga menyebabkan inflasi: kartu kredit. Kartu kredit, menurut Asy-Syatibi dengan konsep maqashid syariahnya, akan mendorong manusia untuk lebih konsumtif dan tentunya berlawanan dengan prinsip syariah. Selain itu, kartu kredit juga pada hakikatnya adalah sebuah penciptaan daya beli baru yang mendorong permintaan uang yang berlebihan. Sama halnya dengan seigniorage atau uang giral yang diciptakan tanpa batas dan underlying.

II.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang determinan inflasi Indonesia dan hal-hal penting lain yang berkaitan dengannya telah dilakukan oleh beberapa orang, antara lain Santoso (2004), Hutabarat (2005), Nugraha (2005), Yuniarti dan Hutabarat (2006), Beik dan Hafidhuddin (2006), Setiawan (2007), Dion (2007), Hatta (2008), dan Ardiono (2008). Hasilnya dapat disimpulkan bahwa determinan inflasi Indonesia antara lain ialah ekspektasi inflasi, nilai tukar, administered inflation, excess money, jumlah uang beredar (M1) dan tingkat suku bunga. Sementara Hatta (2008) sedikit berbeda. Ia mengatakan bahwa penyebab inflasi adalah ketidakstabilan nilai mata uang yang bentuknya fiat. Berikut ini disajikan sebagian paper berikut penjelasan yang lebih terperinci.
a.       Hutabarat (2005) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa determinan utama inflasi Indonesia adalah ekspektasi inflasi yang terkait dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menurut Hutabarat menimbulkan persistensi inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu oleh inflasi cost-push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai tukar rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis, baik secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun perbandingan dengan negara lain.
Persistensi inflasi tersebut juga menurutnya dipengaruhi oleh besarnya tekanan kenaikan harga barang administered khususnya harga BBM dan listrik, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan upah minimum yang bersifat over-inflation indexation. Dalam kondisi tersebut maka pada dasarnya inflasi hanya dapat turun jika terjadi favorable supply shocks atau karena pengetatan moneter yang mentolerir dampak resesi ekonomi. Dalam kondisi ekspektasi inflasi yang tinggi dan dengan kebijakan moneter yang belum kredibel, disinflasi akan menghasilkan pengorbanan pertumbuhan ekonomi yang besar. Penelitian Hutabarat menghasilkan kesimpulan tentang karakteristik dan determinan inflasi yang digambarkan ke dalam bentuk bagan berikut:

Sumber: Hutabarat (2005)
Gambar 3.1. Karakteristik Determinan Inflasi Indonesia

b.      Yuniarti dan Hutabarat (2006) dalam paper lain mencoba mengamati dan mengkomparasi determinan inflasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hasil kajiannya menunjukkan sejumlah determinan yang mempengaruhi pembentukan inflasi di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Ekspektasi inflasi yang bersifat adaptif menurutnya merupakan determinan utama di hampir semua negara, kecuali Filipina. Kontribusi ekspektasi inflasi adaptif terhadap inflasi Indonesia menunjukkan inflasi Indonesia cenderung lebih peristen dibandingkan inflasi di negara lainnya. Hal ini menunjukkan di negara yang inflasinya relatif tinggi, persistensinya juga lebih tinggi. Sementara peran nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan di negara lainnya. Excess money relatif tidak menunjukkan pengaruh yang cukup berbeda di antara negara yang diestimasi. Pengaruh suppy shock baik harga pangan maupun harga BBM terlihat lebih banyak terkait dengan peran pemerintah dalam mengontrol kedua harga tersebut.
c.       Sementara Beik dan Hafidhuddin (2006) menemukan hubungan ekuilibrium dalam jangka panjang antara variabel inflasi, uang beredar, dan output untuk kasus Indonesia. Dalam jangka pendek, jumlah output dipengaruhi oleh inflasi dan M1. Sementara inflasi sendiri dipengaruhi oleh M1. Kedua penulis merekomendasikan Bank Indonesia untuk aktif dalam menciptakan stabilitas harga dan menyeimbangkan antara sektor riil dan keuangan.
d.      Dalam penelitiannya, Setiawan (2007) menguji hubungan antara variabel ekonomi yang diperkirakan berpengaruh terhadap inflasi, yakni jumlah uang beredar (Ms), nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga minyak dunia, sertifikat bank Indonesia (SBI) dan suku bunga Federal Reserve. Hasil pengujian menunjukkan, dalam jangka panjang equilibrium antarvariabel tersebut terjadi. Sedangkan sejak pertengahan periode hingga akhir pengaruh suku bunga SBI semakin meningkat. Pengurangan penggunaan suku bunga, mekanisme profit and loss sharing, pelaksanaan fungsi hibah dan penggunaan uang emas dan perak merupakan beberapa cara untuk menyelesaikan permasalahan inflasi di Indonesia.
e.       Hatta (2008) dalam tulisannya mengungkapkan hal berbeda. Ia menyimpulkan bahwa penyebab inflasi sesungguhnya adalah ketidakstabilan nilai mata uang yang bentuknya fiat. Fiat money menurutnya amat rentan dengan fluktuasi (volatile). Hatta mengkritik keras kebijakan pemerintah yang cenderung tidak tepat sasaran dan hanya bersifat analgetik. Justru ia mengusulkan tujuh kebijakan moneter Islam yang yang menurutnya dapat mengendalikan inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: Dinar dan dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing, hukum pertukaran mata uang, hukum bunga, hukum pasar modal, hukum perbankan, hukum pertukaran internasional, dan otoritas kebijakan moneter.
f.       Ardiono (2008) dalam tulisannya menyimpulkan bahwa permintaan uang, dan tingkat suku bunga berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap inflasi, sedangkan produk domestik bruto berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap inflasi. Sedangkan kurs tidak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia pada kuartal tahun penelitian.
Sebagai bahan perbandingan, terdapat beberapa riset terdahulu yang mencermati determinan inflasi di negara-negara maju dan berkembang, antara lain dilakukan oleh Mohanty dan Clau (2001), Fic (2003), Akbari dan Rankaduwa (2005), Saatcioglu dan Korap (2006), Jimenez (2006). Kesimpulannya adalah bahwa determinan inflasi negara-negara tersebut adalah: ekses permintaan, ekspektasi inflasi, supply shock, imported inflation, depresiasi nilai tukar mata uang, mekanisme indeksasi gaji, struktur tingkat suku bunga ril, dan inflasi bahan makanan.

III.    DATA DAN METODOLOGI
III.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder berupa time series bulanan yang didapat dari Statistika Ekonomi dan Keuangan Indonesia pada Bank Indonesia (SEKI-BI). Sementara data ‘expected inflation’ yang merupakan laju inflasi nasional bulanan diunduh dari Biro Pusat Statistik (BPS). Data Bahan Bakar Minyak dengan proksi harga ritel premium per liter diambil dari situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Seluruh data dimulai dari periode Bulan Januari 2002 hingga Mei 2008.

III.2 Variabel Data dan Definisi Operasional
Variabel dan definisi operasional yang akan digunakan meliputi:
a.       Sebagai variabel yang dipengaruhi ialah tingkat inflasi dengan proksi Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK merupakan indikator inflasi yang paling umum digunakan dan dianggap juga sebagai indikator keefektifan kebijakan pemerintah.
b.      Suku bunga sering dijadikan alat untuk mengendalikan tingkat harga. Namun demikian suku bunga juga akan menjadi cost of capital yang akan menyebabkan naiknya harga produksi barang-barang. Dalam penelitian ini, proksi yang digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
c.       Uang giral yang diciptakan oleh bank akibat penerapan Fractional Reserve Banking System kemudian dinotasikan menjadi FRR (Fractional Reserve Requirment) diproksi dengan nilai uang giral (M1-M0).
d.      Seigniorage (SEIG) adalah selisih antara nilai intrinsik dan ekstrinsik mata uang. Karena cukup sulit untuk dihitung, maka data seigniorage diwakili dengan data nilai uang kartal (Mo). Hal ini didasarkan atas pertimbangan, setiap penambahan uang kartal dalam perekonomian maka secara pasti akan menaikkan nilai seigniorage.
e.       Transaksi kartu kredit (CREDITCARD) yang diambil dari data posisi pembiayaan rupiah dan valas perusahaan pembiayaan menurut jenis pembiayaan dengan menggunakan kartu kredit.
f.       Administered inflation diproksi dengan data harga Bahan Bakar Minyak (BBM) ritel jenis premium.
g.      Nilai tukar dengan data kurs tengah mata uang dolar Amerika Serikat terhadap rupiah (DOLAR).
h.      Suku bunga luar negeri yang diwakili oleh data suku bunga The Fed (SFED).
i.        Expected inflation (EXPECT) adalah tingkat inflasi pada satu periode sebelumnya dengan IHK tahun dasar 2002.

III.3 Metode Estimasi
Permasalahan dalam studi ini akan dianalisis dengan memakai Vector Autoregression. Secara sederhana, VAR menggambarkan hubungan yang “saling menyebabkan” (kausalistis) antarvariabel dalam sistem, dengan menambahkan intercept. Metode ini mulai dikembangkan oleh Sims pada tahun 1980 (Hasanah, 2007) yang mengasumsikan bahwa semua variabel dalam model bersifat endogen (ditentukan di dalam model) sehingga metode ini disebut sebagai model yang ateoritis (tidak berdasar teori).
Apabila data yang digunakan stasioner pada perbedaan pertama maka model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM). Analisis impulse response function dilakukan untuk melihat respon suatu variabel endogen terhadap guncangan variabel lain dalam model. Variance decomposititon analysis juga dilakukan untuk melihat kontribusi relatif suatu variabel dalam menjelaskan variabilitas variabel endogenusnya. Semua data dalam penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali sertifikat bunga Indonesia (SBI), suku bunga The Fed (SFED), dan inflasi yang diharapkan (EXPECT) untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2003 dan program Eviews 4.1.
Selanjutnya tahapan-tahapan dalam analisis VAR akan dijelaskan seperti pada gambar berikut di bawah ini.

Sumber: Ascarya, et al. (2008)
 Gambar 3.1. Proses dalam Analisis VAR

a. Uji Stasioneritas
Data ekonomi time series umumnya bersifat stokastik atau memiliki tren yang tidak stasioner, artinya data tersebut memiliki akar unit. Untuk dapat mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengujian stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Jika data yang digunakan mengandung unsur akar unit, maka akan sulit untuk mengestimasi suatu model karena tren data tersebut cenderung berfluktuasi tidak di sekitar nilai rata-ratanya. Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan befluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati, 2003).
Lebih khusus, penelitian ini akan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test untuk menguji stasioneritas masing-masing variabel. Hasil dari uji ADF akan dibandingkan dengan McKinnon Critical Value.
b. Pemilihan Lag Optimum
Penentuan jumlah lag (ordo) yang akan digunakan dalam model VAR dapat ditentukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SC). Lag yang akan dipilih dalam model adalah model dengan nilai AIC dan SC yang paling kecil. Dalam tahapan ini pula dilakukan uji stabilitas model VAR. Penentuan lag optimum dan uji stabilitas VAR dilakukan terlebih dahulu sebelum melalui tahap uji kointegrasi.
c. Uji Kointegrasi
Jika fenomena stasioneritas berada pada tingkat first difference atau I(1), maka perlu dilakukan pengujian untuk melihat kemungkinan terjadinya kointegrasi. Konsep kointegrasi pada dasarnya untuk melihat keseimbangan jangka panjang di antara variabel-variabel yang diobservasi. Terkadang suatu data yang secara individu tidak stasioner, namun ketika dihubungkan secara linier data tersebut menjadi stasioner. Hal ini yang kemudian disebut bahwa data tersebut terkointegrasi.
Selain itu, uji kointegrasi juga akan dilakukan dengan mengikuti prosedur Johansen. Dalam uji Johansen, penentuan kointegrasi dilihat dari nilai trace statistic dan max eigen statistic setelah didahului dengan mencari panjang lag yang akan diketahui. Nilai trace statistic dan max eigen statistic yang melebihi nilai kritisnya mengindikasikan bahwa terdapat kointegrasi dalam model yang digunakan.
d. Vector Error Correction Model (VECM)
VECM adalah bentuk Vector Autoregression yang terestriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.   
Setelah diketahui adanya kointegrasi maka proses uji selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode error correction. Jika ada perbedaan derajat integrasi antarvariabel uji, Mehra dalam Setiawan (2007) menyarankan agar pengujian dilakukan secara bersamaan (jointly) antara persamaan jangka panjang dengan persamaan error correction, setelah diketahui bahwa dalam variabel terjadi kointegrasi. Perbedaan derajat integrasi untuk variabel yang terkointegrasi disebut Lee dan Granger (Enders dalam Setiawan, 2007) sebagai multicointegration. Namun jika tidak ditemui fenomena kointegrasi, maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan variabel first difference.
e. Instrumen Vector Error Correction Model
Dalam melakukan analisisnya, VAR memiliki instrumen spesifik yang memiliki fungsi spesifik dalam menjelaskan interaksi antarvariabel dalam model. Instrumen itu meliputi Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decompisitions (FEVD), atau biasa disebut Variance Decompisitions (VD). IRF merupakan aplikasi vector moving average yang bertujuan melihat seberapa lama goncangan dari satu variabel berpengaruh terhadap variabel lain. Sedangkan VD dalam VAR berfungsi untuk menganalisis seberapa besar goncangan dari sebuah variabel mempengaruhi variabel lain.











Text Box: DETERMINANT OF INDONESIAN INFLATION







Text Box:      ISLAMIC INDEX (CPI)
Text Box: CONVENTIONAL INDEX (CPI)


III.4 Kerangka Konseptual
























Text Box: CONSUMER PRICE INDEX (CPI)




Gambar 3.2. Dua Model Pendekatan Determinan Inflasi Indonesia
Agar memudahkan memahami alur berpikir pada penelitian ini, gambar di atas disajikan sebagai framework penelitian. Determinan inflasi Indonesia dianalisis dengan dua model pendekatan: Islam dan konvensional. Kedua model masing-masing akan terlebih dahulu dilakukan penghitungan sehingga dapat menghasilkan output, variabel mana yang memiliki kontribusi paling besar terhadap indeks harga konsumen. Setelah diketahui hasil pengujian masing-masing model, tahap selanjutnya adalah penggabungan seluruh variabel independen, baik yang Islam maupun konvensional, untuk kemudian menjadi satu model mixed. Model ini lalu dianalisis dengan menggunakan metoda Vector Autoregression dan VECM.

IV.    HASIL DAN ANALISIS
IV.1 Hasil Uji Stasioneritas Data
Metoda pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data dalam penelitian ini adalah uji ADF (Augmented Dickey Fuller) dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah stasioner (tidak mengandung akar unit).


Tabel 4.1. Hasil Uji Akar Unit
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis McKinnon 5%
Level
1st Difference
Level
1st Difference
LNIHK
-2.017662
-5.725297
-3.470032
-1.945199
LNSEIG
-4.423513
-11.42053
-3.470032
-1.945199
LNFRR
-3.434638
-10.45421
-3.470032
-1.945199
SBI
-2.378988
-3.431635
-3.470851
-1.945199
LNCREDITCARD
-5.7813
-14.8466
-3.470032
-1.945199
EXPECT
-7.533394
-10.41623
-3.474363
-1.945596
LNDOLAR
-3.286378
-7.48867
-3.470032
-1.945199
LNBBM
-1.673622
-8.796653
-3.470032
-1.945199
SFED
1.713705
-4.588076
-3.470032
-1.94526
Catatan: Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 5%

Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada yang stasioner dan ada pula yang tidak stasioner pada tingkat level. Setelah dilakukan first difference barulah semua data stasioner pada taraf nyata lima persen. Artinya data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Variabel yang telah stasioner pada tingkat level adalah seigniorage (LNSEIG), kartu kredit (LNCREDITCARD) dan ekspektasi inflasi (EXPECT). Sementara yang lain baru mengalami stasioner pada first difference. Hasil pengujian akar unit dapat dilihat pada tabel 4.1.

IV.2 Penetapan Lag Optimum
Pengujian panjang lag optimum ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan lag optimal yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lag terpendek dengan menggunakan Schwarz Information Criterion (SC). Untuk model Islam mengalami titik optimum pada lag 1. Sementara model konvensional dan model gabungan lag optimal berada pada lag 2 (Tabel 4.2.).
Tabel 4.2. Hasil Uji Lag Optimum
Lag
Islam
Konvensional
Mixed
0
-13.51263
-10.71002
-18.10661
1
 -13.63283*
-10.90246
-17.43339
2
-12.69917
 -14.70865*
 -19.47127*
3
-11.82821
-13.78925
-17.47599
4
-10.72018
-12.83805
-15.4632
5
-10.03041
-12.21736
-16.75799
6
-9.203301
-11.30258
-19.05771
Catatan: Tanda asterik (*) menunjukkan SC terkecil

IV.3 Hasil Uji Stabilitas VAR
Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak valid (Nugraha dalam Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi VAR stability berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Gujarati, 2003). Berdasarkan uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan VD stabil. Ringkasan uji stabilitas VAR dapat dilihat pada tabel 4.3. Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya.
Tabel 4.3. Hasil Uji Stabilitas VAR
Model
Kisaran Modulus
Islam
0.008957-0.698290
Konvensional
0.382855- 0.687311
Mixed
  0.282336- 0.763082

IV.4 Hasil Uji Kointegrasi
Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antarvariabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat 1 I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Hasil pengujian kointegrasi berdasarkan trace statistics dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan lampiran tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing persamaan terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen. Dalam model Islam dan model konvensional terdapat masing-masing satu rank kointegrasi. Sementara dalam model gabungan terdapat empat rank kointegrasi.

IV.5 Determinan Inflasi Model Islam
Setelah melalui serangkaian uji pra-estimasi, yakni uji akar unit, penentuan optimum lag, uji stabilitas VAR hingga uji kointegrasi, dan faktanya terdapat satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen dalam model ini, maka penghitungan dilanjutkan pada tahap selanjutnya yakni VECM. Estimasi VECM dilakukan untuk melihat analisis jangka panjang dan pendek. Berikut ini disajikan simulasi analisis Impulse Response.
a. Analisis Impulse Response Function
Rangkuman hasil analisis Impulse Response Function untuk determinan inflasi Indonesia (model Islam dan konvensional) dapat dibaca pada tabel 4.4. di bawah ini.

Tabel 4.4. Respon Indeks Harga Konsumen Model Islam
Model Islam
Respon IHK
Guncangan FRR
Negatif dan permanen -0.0007, stabil mulai periode ke-10
Guncangan Seigniorage
Positif dan permanen 0.0019, stabil mulai periode ke-6
Guncangan SBI
Positif dan permanen 0.0049, stabil mulai periode ke-12
Guncangan Creditcard
Negatif dan permanen -0.0001, stabil mulai periode ke-1

Tabel 4.4. di atas menunjukkan bahwa respon IHK terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi, baik model Islam maupun konvensional. Sementara jika kita melihat gambar 4.1. yang merupakan gambaran respon IHK terhadap guncangan beberapa variabel model Islam, kita dapat mencermati bahwa IHK merespon negatif 0.07 persen terhadap guncangan variabel FRR (fractional reserve requirment) sebesar satu standar deviasi. Begitu pula guncangan credit card yang direspon negatif oleh IHK sebesar 0.01 persen. Sedangkan guncangan pada variabel seigniorage dan suku bunga direspon positif oleh IHK.
Indeks Harga Konsumen dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan FRR setelah periode ke-10, sementara IHK mulai stabil dalam merespon guncangan seigniorage pada periode ke-6 dengan respon sebesar 0.19 persen. Adapun guncangan pada suku bunga mulai direspon stabil pada periode ke-12 sebesar 0.49 persen. Variabel creditcard direspon negatif oleh Indeks Harga Konsumen dan stabil mulai periode pertama.
Gambar 4.1. Respon IHK terhadap Beberapa Variabel Model Islam

b. Analisis Variance Decomposition
Setelah menganalisis perilaku dinamis melalui impulse response, selanjutnya akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition. Seperti dapat dilihat pada Gambar 4.2., fluktuasi IHK dipengaruhi paling dominan oleh IHK itu sendiri, sedangkan suku bunga berada pada urutan kedua mulai dari periode ke-3 hingga periode ke-36, dan seigniorage pada urutan ketiga. Sedangkan variabel FRR dan creditcard tidak terlalu mempengaruhi variabilitas IHK. Pada periode pertama, fluktuasi variabel IHK dipengaruhi oleh guncangan IHK itu sendiri sebesar 100 persen. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan IHK itu sendiri semakin menurun mempengaruhi variabilitas indeks harga konsumen, tetapi masih sangat dominan. Sedangkan variabel suku bunga mulai berperan besar kedua. Pada periode ke-36, variabilitas IHK dapat dijelaskan oleh variabel suku bunga dengan kontribusi sebesar 13 persen.
Gambar 4.2. Variance Decomposition Determinan Inflasi Model Islam

Hasil variance decomposition lainnya, variabel seigniorage dan FRR berperan setelah suku bunga. Pada periode ke-36, variabilitas IHK dapat dijelaskan oleh variabel seigniorage dan FRR dengan kontribusi masing-masing  1.6 dan 0.2 persen. Adapun variabel creditcard untuk periode yang sama berkontribusi terhadap variabilitas IHK amat kecil bahkan hampir tidak ada. Variabel creditcard hanya berkontribusi sebesar 0,004 persen. Kontribusi rata-rata inovasi indeks harga konsumen dalam menjelaskan variabilitas Indeks Harga Konsumen dari mulai periode ke-20 sampai periode ke-36 adalah sebesar 86,8 persen.

IV.6 Determinan Inflasi Model Konvensional
Setelah mengetahui hasil penghitungan dan analisis IRF dan VD model Islam, berikut ini akan disajikan bagian simulasi analisis Impulse Response Function dan Variance Decomposition model determinan inflasi konvensional berikut penjelasannya.

a. Analisis Impulse Response Function
Hasil analisis Impulse Response Function untuk determinan inflasi Indonesia model konvensional dengan variabel independen suku bunga The Fed, harga BBM, depresiasi rupiah dan ekspektasi inflasi dapat dibaca pada gambar 4.3. berikut ini.
Gambar 4.3. Respon IHK terhadap Beberapa Variabel Model Konvensional

Gambar di atas menunjukkan bahwa respon IHK terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. IHK merespon positif 0.07 persen terhadap guncangan variabel suku bunga The Fed (SFED) sebesar satu standar deviasi. Begitu pula guncangan nilai tukar rupiah terhadap dolar (DOLAR) yang direspon positif oleh IHK sebesar 0.22 persen. Sedangkan guncangan pada variabel BBM direspon negatif oleh IHK. Guncangan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh Indeks Harga Konsumen di awal periode (hingga periode ke-4), untuk kemudian permanen di titik nol.
IHK dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan SFED setelah periode ke-8, sementara IHK mulai stabil dalam merespon guncangan BBM pada periode ke-12 dengan respon sebesar 0.17 persen. Adapun guncangan pada DOLAR mulai direspon stabil oleh IHK pada periode ke-14. Variabel ekspektasi inflasi direspon stabil oleh IHK mulai periode ke-9.
Tabel 4.5. Respon IHK Model Konvensional
Model Islam
Respon IHK
Guncangan SFED
Positif dan permanen 0.0007, stabil mulai periode ke-8
Guncangan BBM
Negatif dan permanen -0.0017, stabil mulai periode ke-12
Guncangan Dolar
Positif dan permanen 0.0022, stabil mulai periode ke-14
Guncangan Expect
Permanen pada 0, stabil mulai periode ke-9

b. Analisis Variance Decomposition
Gambar 4.4. Variance Decomposition Determinan Inflasi Konvensional

Seperti dapat dilihat pada Gambar 4.4., fluktuasi IHK dipengaruhi paling dominan oleh IHK itu sendiri, sedangkan variabel DOLAR berada pada urutan kedua mulai dari periode ke-3 hingga periode ke-36, dan BBM pada urutan ketiga. Sedangkan variabel SFED dan EXPECT tidak terlalu mempengaruhi variabilitas IHK.
Pada periode pertama, fluktuasi variabel IHK dipengaruhi oleh guncangan IHK itu sendiri sebesar 100 persen. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan IHK itu sendiri semakin menurun mempengaruhi variabilitas IHK, tetapi masih sangat dominan. Sedangkan variabel DOLAR berkontribusi besar kedua. Pada periode ke-36, variabilitas IHK dapat dijelaskan oleh variabel DOLAR dengan kontribusi 5.2 persen.
Variabel BBM berperan setelah DOLAR. Pada periode ke-36, variabilitas IHK dapat dijelaskan oleh variabel BBM dengan kontribusi 2 persen. Adapun variabel SFED dan EXPECT untuk periode yang sama berkontribusi terhadap variabilitas IHK amat kecil. Kedua variabel hanya berkontribusi masing-masing sebesar 0.2 dan 0.01 persen. Kontribusi rata-rata inovasi indeks harga konsumen dalam menjelaskan variabilitas IHK dari periode ke-20 sampai periode ke-36 adalah sebesar 92.6 persen.

IV.7 Determinan Inflasi Pendekatan Model Mixed
Agar mengetahui lebih dalam tentang karakteristik determinan inflasi Indonesia dari dua sisi, juga seberapa besar perbandingan pengaruh variabel bebas kedua model terhadap IHK, berikut ini akan dianalisis model mixed yang menggabungkan antara sejumlah variabel model Islam dengan konvensional. Analisis Impulse Response dan Variance Decomposition dalam hal ini digunakan.
a. Analisis Impulse Response Function
Setelah menghitung masing-masing model determinan inflasi baik dari sisi Islam maupun konvensional, selanjutnya kemudian akan dianalisis model gabungan (mixed model). Model ini memasukkan variabel-variabel independen dari kedua model sehingga jumlah keseluruhan variabel bebas adalah delapan, yakni: suku bunga The Fed (SFED), BBM, FRR, Seigniorage, variabel DOLAR, SBI, creditcard dan ekspektasi inflasi. Rangkuman hasil analisis IRF untuk determinan inflasi Indonesia mixed model dapat dibaca pada tabel 4.6. berikut di bawah ini.
Tabel 4.6. Respon Indeks Harga Konsumen Model Mixed
Model Mixed
Respon IHK
Guncangan SFED
Negatif dan permanen -0.0018, stabil mulai periode ke-21
Guncangan BBM
Negatif  dan permanen -0.0001, stabil mulai periode ke-16
Guncangan FRR
Negatif dan permanen -0.0004, stabil mulai periode ke-15
Guncangan Seigniorage
Negatif  dan permanen -0.0004, stabil mulai periode ke-19
Guncangan Dolar
Positif dan permanen 0.0039, stabil mulai periode ke-15
Guncangan SBI
Positif dan permanen 0.0081, stabil mulai periode ke-23
Guncangan Creditcard
Permanen pada 0, stabil mulai periode ke-17
Guncangan Expect
Negatif dan permanen -0.0007, stabil mulai periode ke-16

Tabel 4.6. di atas menunjukkan bahwa respon IHK terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Sementara jika kita melihat gambar 4.5. yang merupakan gambaran respon IHK terhadap guncangan beberapa variabel model gabungan ini, kita dapat mencermati bahwa IHK merespon negatif guncangan lima variabel bebas yakni: SFED (0.18 persen), BBM (0.01), FRR (0.04), Seigniorage (0.04), dan EXPECT (0.07 persen) sebesar satu standar deviasi. Sedangkan guncangan pada variabel DOLAR dan SBI direspon positif oleh IHK. Adapun variabel creditcard direspon negatif oleh IHK di awal periode, sampai kemudian permanen di titik nol.
Indeks Harga Konsumen merespon negatif variabel SFED mulai periode 3 hingga 36. IHK dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan variabel-variabel: SFED setelah periode ke-21, BBM (setelah periode ke-16), FRR (periode ke-15), Seigniorage (periode ke-19) dan EXPECT (setelah periode ke-16). Sementara IHK mulai stabil dalam merespon guncangan DOLAR dan SBI masing-masing pada periode ke-15 dan ke-23. Adapun guncangan pada variabel creditcard mulai direspon stabil pada periode ke-17.
Gambar 4.5. Respon IHK terhadap Seluruh Variabel

b. Analisis Variance Decomposition
Setelah menganalisis perilaku dinamis melalui impulse response, selanjutnya akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition.
Gambar 4.6. Variance Decomposition Determinan Inflasi Indonesia
Seperti dapat dilihat pada Gambar 4.6., fluktuasi IHK dipengaruhi paling dominan oleh IHK itu sendiri, sedangkan suku bunga berada pada urutan kedua mulai dari periode ke-3 hingga periode ke-36, dan DOLAR pada urutan ketiga. Ketiga variabel tersebut merupakan pemberi kontribusi terbesar terhadap variabilitas IHK. Pada periode ke-36, kontribusi ketiga variabel tersebut berturut-turut adalah 47 persen (IHK), 39 persen (suku bunga) dan 9.2 persen (DOLAR). Sedangkan enam variabel lainnya tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap variabilitas IHK. Keenam variabel tersebut hanya berkontribusi kurang dari 2 persen. Mereka adalah ekspektasi inflasi (1.8 persen), SFED (1.8), FRR (0.4), Seigniorage (0.3), BBM (0.1) dan creditcard (0.1 persen).
           
V.    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis determinan inflasi Indonesia dengan dua pendekatan yakni model Islam dan konvensional, maka diperoleh beberapa kesimpulan, yakni:
·           Model-model positivistik yang biasa digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya inflasi di negara-negara di dunia adalah: Model Keynesian, Model Ekspektasi, Model Moneteris, Model Kepemimpinan-Gaji, Model Strukturalis, dan Model Neostrukturalis. Empat model yang pertama banyak dipakai untuk menganalisis masalah inflasi di negara-negara maju, sementara dua model yang terakhir biasa digunakan untuk menjelaskan masalah inflasi di negara berkembang. Adapun Model Moneteris yang menyebutkan bahwa determinan inflasi sebuah negara adalah akibat terlalu banyaknya jumlah uang beredar yang tidak diimbangi dengan tersedianya produksi yang memadai, lazim digunakan baik di negara maju maupun negara berkembang.
·           Determinan inflasi menurut Islam secara umum terbagi dua: Natural Inflation dan Unnatural Inflation. Inflasi yang tidak alamiah kemudian terbagi menjadi dua, yakni: (a) inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation), dan (b) inflasi akibat kesalahan sistem dalam perekonomian (System Error Inflation). Dalam perkembangannya kemudian, porsi Unnatural Inflation utamanya ‘inflasi akibat kesalahan sistem dalam perekonomian’ (System Error Inflation) menjadi lebih dominan dibandingkan dengan yang sifatnya ‘inflasi alamiah’.
·           Hasil pengujian menunjukkan bahwa determinan inflasi Indonesia menurut model Islam adalah nilai inflasi itu sendiri (85.2%), suku bunga (13%), seigniorage (1.6%), fractional reserve (0.2%) dan creditcard (0.004%). Sementara faktor penyebab inflasi Indonesia menurut model konvensional adalah inflasi itu sendiri (92.6%), depresiasi rupiah (5.2%), kenaikan harga BBM (2%), suku bunga The Fed (0.2%) dan ekspektasi inflasi (0.01%).
·           Ketika dilakukan pengujian terhadap model gabungan (mixed model), hasilnya menunjukkan bahwa urutan determinan inflasi Indonesia dari yang paling besar adalah inflasi itu sendiri (47%), suku bunga (39%), depresiasi rupiah (9.2%), ekspektasi inflasi (1.8%), suku bunga The Fed (1.8%), fractional reserve (0.4%), seigniorage (0.3%), BBM (0.1%) dan creditcard (0.1%). Suku bunga menjadi variabel bebas paling penting dalam model.
·           Jika melihat analisis impulse response function, baik model Islam maupun model mixed, guncangan suku bunga (SBI) memberikan pengaruh positif dan permanen ‘lebih besar’ terhadap IHK (0.0049 dan 0.0081) serta mencapai kestabilan ‘paling lama’ (setelah periode ke-12 dan 23) dibanding dengan guncangan variabel lain.
·           Hasil pengujian dengan analisis dekomposisi varian juga menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh positif dan menjadi kontributor inflasi paling dominan dibanding dengan variabel lain, baik dalam model Islam (13%) maupun dalam model mixed (39%).
·           Jika mencermati struktur variance decomposition, jumlah persentase kontribusi variabel independen model determinan inflasi Islam lebih besar dibanding kontribusi variabel bebas model konvensional yaitu 14.8 persen vs. 7.4 persen. Artinya, variabel-variabel dalam model Islam lebih mampu menjelaskan penyebab inflasi Indonesia dibandingkan dengan variabel model konvensional.

V.2 Rekomendasi
Adapun beberapa rekomendasi yang dapat penulis berikan adalah:
·           Model Moneteris adalah pendekatan yang paling banyak dilakukan untuk menganalisis penyebab inflasi, baik di negara maju maupun negara berkembang. Model ini menjelaskan bahwa penyebab utama inflasi adalah akibat terlalu banyaknya uang beredar. Baik yang dicetak oleh bank sentral (uang kartal) maupun yang diciptakan oleh bank komersial (berbentuk giral) sebagai konsekuensi logis dari aturan fractional reserve banking system. Karenanya perlu ada pengaturan dan pembatasan penciptaan uang, umpamanya dengan pemikiran fully reserve banking.
·           Hasil penghitungan menunjukkan bahwa suku bunga ternyata berpengaruh positif dan dominan terhadap inflasi Indonesia. Oleh karena itu perlu dikaji kembali keberadaan institusi bunga di dalam perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan moneter Indonesia ataukah malah sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat penyembuh ampuh, ataukah malah menjadi virus potensial yang dapat menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut.
·           Menurut hasil penghitungan, depresiasi nilai tukar rupiah menjadi faktor kedua setelah suku bunga yang memberi kontribusi cukup besar terhadap inflasi (9.2% dalam model mixed). Dengan fakta ini, menjaga kestabilan mata uang menjadi hal yang urgen, baik karena intrinsiknya yang stabil maupun karena di back-up dengan jelas oleh institusi berwenang. Hal ini berkaitan erat dengan jenis mata uang yang dipakai oleh suatu negara maupun dengan problem seigniorage. Apakah bentuk fiat ataukah commodity money yang akan mampu menjaga stabilitas mata uang.
·           Kelemahan dari penelitian ini adalah adanya kemungkinan terjadi penghitungan ulang dari variabel yang dimasukkan ke dalam model mixed, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan kemungkinan kesalahan tersebut diminimalisir dengan cara menguji terlebih dahulu apakah terjadi otokorelasi antara dua model atau tidak. Kelemahan lainnya adalah kekurangtepatan proksi yang digunakan untuk menjadi indikator variabel penelitian. Sebagai contoh, variabel seiniorage akan lebih tepat jika menggunakan data sesungguhnya, yakni selisih antara nilai intrinsik dengan ekstrinsik mata uang. Untuk riset selanjutnya diharapkan kekurangan tersebut dapat diperbaiki untuk kemudian dilakukan penyempurnaan.



Daftar Pustaka

Akbari, Ather dan Rankaduwa, Wimal, “Determinants of Inflation and Feasibility of Inflation Targeting in a Small Emerging Market Economy: The Case of Pakistan”, Working Paper, 2005.
Amin, A. Riawan, (2007), Satanic Finance. Jakarta: Celestial Publishing.
Arby, M. Farooq, “Seigniorage Earnings of Commercial Bank and State Bank of Pakistan”, MPRA Paper no 4955, State Bank of Pakistan, 2006.
Ardiono, Angga Rahmat, 2008, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia tahun 1990-2005, Skripsi pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia: tidak diterbitkan.
Ascarya, (2007), Sistem Keuangan dan Moneter Islam, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia.
Ascarya, Hasanah, Heni dan N.A. Achsani, “Permintaan Uang dan Stabilitas Moneter dalam Sistem Keuangan Ganda di Indonesia,” Paper dipresentasikan pada “Seminar dan Kolokium Nasional Sistem Keuangan Islam II”, Bandung, Indonesia, 6 September 2008.
Beik, Irfan Syauqi dan Hafidhuddin, Didin, “The Relationship Among Inflation, Money, and Output in the Indonesia Economy: Evidence based on Granger Causality and Error Correction Models”. Tazkia Islamic Finance and Business Review, vol 1 (no 1), Januari 2006.
Boediono, (1989), Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar ilmu ekonomi No. 5, Edisi Ketiga, Yogyakarta: BPFE.
Chapra, M. Umer, (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan. Jakarta: Gema Insani Press.
________________­_, (2000), Sistem Moneter Islam, Terjemahan. Jakarta: Gema Insani Press.
Djohanputro, Bramantyo, (2006), Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit PPM.
Gujarati, Damodar, (2003), Ekonometrika Dasar, Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Hasanah, Heni, 2007, Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia, Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor: tidak diterbitkan.
Hatta, M., “Telaah Singkat Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam”, Paper, Jurnal Ekonomi Ideologis, 2008.
Hutabarat, Akhis R., “Determinan Inflasi Indonesia.” Occasional Paper no. 6/2, Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2005.
Iqbal, Muhaimin, (2007), Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham. Jakarta: Spiritual Learning Center-Dinar Club.
Karim, Adiwarman Azwar, (2004), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
__________________________, (2002), Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi pertama. IIIT Indonesia.
Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nopirin, (1998), Ekonomi Moneter, Buku 1 edisi ke-4, Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UGM.
Saatcioglu, Cem dan Korap, H. Levent., “Determinants of Turkish Inflation”, Discussion Paper, Turkish Economic Association, 2006.
Sakti, Ali, (2007), Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing.
Santoso, Wijoyo, “Analisis Inflasi Indonesia dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter dan Peran Kantor Bank Indonesia.” Paper, 2004.
Setiawan, Hapid, 2007, Analisis Faktor Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan Beberapa Penyelesaiannya Menurut Ekonomi Islam, Skripsi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah STEI Tazkia: tidak diterbitkan.
Setyawan, Aris B., 2000, Bahan Kuliah Ekonomi Moneter, Jakarta.
Siregar, Mulya, E., 2001, “Manajemen Moneter Alternatif dan Penerapannya di Indonesia”, Dalam: Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter, Jakarta: SEM Institute.
Tambunan, Tulus, (1998), Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Triono, Dwi Condro, “Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Alquran”, Media Politik dan Dakwah Al-Wai’e No. 70 Tahun VI Juni 2006.
Yanuarti, Tri dan Hutabarat, Akhis R., “Perbandingan Determinan Inflasi Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina”. Working Paper 05/2006, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2006.


LAMPIRAN

HASIL UJI KOINTEGRASI
MODEL DETERMINAN INFLASI ISLAM
Sample(adjusted): 2002:03 2008:05
Included observations: 75 after adjusting endpoints
Series: LNIHK LNSEIG LNFRR SBI LNCREDITCARD
Lags interval (in first differences): 1 to 1





Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized

Trace
5 Percent
1 Percent
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Critical Value
None **
 0.409731
 82.28790
 68.52
 76.07
At most 1
 0.244117
 42.74966
 47.21
 54.46
At most 2
 0.196117
 21.75946
 29.68
 35.65
At most 3
 0.068520
 5.386829
 15.41
 20.04
At most 4
 0.000843
 0.063271
  3.76
  6.65
 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
 Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels

MODEL DETERMINAN INFLASI KONVENSIONAL
Sample(adjusted): 2002:05 2008:01
Included observations: 69 after adjusting endpoints
Series: LNIHK EXPECT LNDOLAR LNBBM SFED
Lags interval (in first differences): 1 to 2





Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized

Trace
5 Percent
1 Percent
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Critical Value
None **
 0.574280
 105.4876
 68.52
 76.07
At most 1
 0.352899
 46.56348
 47.21
 54.46
At most 2
 0.147388
 16.53098
 29.68
 35.65
At most 3
 0.067464
 5.528904
 15.41
 20.04
At most 4
 0.010229
 0.709449
  3.76
  6.65
 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
 Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels

MODEL DETERMINAN INFLASI MIXED
Sample(adjusted): 2002:05 2008:01
Included observations: 69 after adjusting endpoints
Series: LNIHK LNSEIG LNFRR SBI LNCREDITCARD EXPECT LNDOLAR LNBBM SFED
Lags interval (in first differences): 1 to 2





Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized

Trace
5 Percent
1 Percent
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Critical Value
None **
 0.776929
 323.8697
192.89
204.95
At most 1 **
 0.611973
 220.3513
156.00
168.36
At most 2 **
 0.514577
 155.0304
124.24
133.57
At most 3 **
 0.442265
 105.1617
 94.15
103.18
At most 4
 0.336321
 64.87460
 68.52
 76.07
At most 5
 0.207247
 36.58756
 47.21
 54.46
At most 6
 0.185914
 20.56271
 29.68
 35.65
At most 7
 0.084467
 6.370126
 15.41
 20.04
At most 8
 0.004063
 0.280924
  3.76
  6.65
 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
 Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels


(Tulisan ini telah dimuat pada Journal of Islamic Business and Economics (JIBE), Universitas Gadjah Mada, Vol 3 No 1, Juni 2009)

Klik suka di bawah ini ya