Salah Kelola Zakat dan Sedekah

Idul Fitri 1431 H usai sudah. Tapi, ada yang tak boleh dilewatkan: berulangnya fenomena ribuan orang  berebut recehan sedekah. Tahun lalu, di rumah H Saikhon (Pasuruan), sebanyak 21 orang mati terinjak-injak demi Rp 30 ribu. Tahun ini, di halaman Istana Negara, kediaman resmi Presiden SBY, peristiwa serupa terjadi meski 'cuma' satu orang tewas. Padahal, Presiden tidak sedang bersedekah, hanya silaturahim.


Sungguh masygul melihat ribuan laki-perempuan, termasuk orang tua dan anak-anak,  yang sebagian besar pasti Muslim, berdesakan untuk berburu sedekah. Bukan cuma di rumah seorang haji atau presiden, bahkan di halaman kelenteng, wihara, atau gereja. Mengapa itu terjadi dalam skala yang makin tinggi?


Tiga persoalan
Paling tidak, ada tiga persoalan. Pertama, ini adalah ekspresi kepapaan dan penderitaan mayoritas Muslim akibat kemiskinan yang bukan berkurang, tapi makin mencekik. Kedua, di tengah kemiskinan mencekik ini, kekayaan terkumpul dan tertumpuk di kalangan sedikit orang. Ketiga, betapa tidak mudahnya melawan nafs yang menyelinap dalam hati manusia, khususnya yang berposisi atas, untuk tidak menonjol-nonjolkan "kebaikan".


Riya' adalah penyakit hati. Marilah kita jadikan segelintir orang kaya ini-yang boleh jadi tebersit dalam hatinya rasa senang, bangga, dan entah perasaan apa lagi melihat ribuan Muslim miskin beradu nyawa demi sedekah-sebagai cermin.


Kita harus melihat masalah ini melampaui kepribadian seseorang saja. Kita juga harus mencari solusi agar peristiwa seperti ini berhenti. Ada yang menyatakan agar sedekah disalurkan hanya kepada lembaga atau badan amil zakat "resmi". Tapi, sungguh ini bukan soal teknis belaka. Banyaknya harta zakat yang disalurkan belum tentu pertanda baik. Allah SWT menyatakan akan "menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba" (Al-Baqarah: 276). Namun, ini tidak bisa terjadi begitu saja bagai mukjizat. Suburnya sedekah dan musnahnya riba sepenuhnya tergantung pada sikap dan perbuatan kita.


Banyaknya zakat yang dibayarkan saat ini diperkirakan-jumlahnya yang tercatat saja-bisa melampaui Rp 1 triliun. Itu belum tentu tanda baik, belum tentu menjadi bukti suburnya sedekah. Sebab, boleh jadi, justru sebaliknya: banyaknya zakat saat ini hanya mencerminkan banyaknya harta yang ditimbun-timbun di tangan segelintir orang.


Suburnya sedekah yang lebih riil ditandai oleh zakat yang berasal dari harta produktif, seperti dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan perdagangan. Bila zakat  berasal dari harta produktif, hal itu dibuktikan dengan produk pertanian (beras, jagung, polong-polongan, dan sebagainya); perkebunan (kismis, kelapa sawit, dan sebagainya); hewan ternak (kambing, sapi, dan kerbau), serta nuqud (dinar emas atau  dirham perak) yang  ditarik dan dibagikan kepada fakir miskin serta mustahik lainnya.


Di sisi lain, berapa banyak zakat saat ini yang cuma berasal dari timbunan harta berupa deposito dan sejenisnya yang artinya bergelimang riba dan menumpuk pada sedikit orang? Allah SWT menegaskan ancaman pedih bagi penimbun harta. "Ingat, ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam dan dengan itu disetrika dahi dan punggung mereka, dikatakan, 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Rasakan akibatnya.'" (At-Taubah: 35).


Luruskan tata kelola zakat
Pertanda lain, zakat yang berasal dari harta produktif adalah pengumpulan dan pemerataannya yang terjadi setiap hari, sepanjang tahun. Sebab, nisab dan haul zakat niscaya akan jatuh secara berbeda pada setiap orang, mengikuti dinamika proses produksi, entah di pertanian, peternakan, dan-apalagi-di perdagangan (termasuk manufaktur). Penumpukan penghimpunan dan penyaluran zakat hanya di satu periode sepanjang Ramadhan, misalnya, adalah cermin penimbunan harta itu sendiri.


Sementara itu, memberikan zakat kepada lembaga-lembaga amil zakat yang ada saat ini juga bukan penyelesaian. Bahwa masyarakat kurang memercayai mereka, itu satu hal. Dalam kenyataannya, berapa banyak porsi zakat yang dihimpun oleh LAZ dan BAZ yang langsung dibagikan kepada yang berhak secara tunai? Kebanyakan uang zakat saat ini justru ditahan, diakumulasikan, lalu dijadikan aneka program: entah pendidikan, entah kesehatan, entah permodalan, dan sebagainya. Mereka juga tak peduli dengan zakat harta lain: hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.


Penerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT, tidak untuk program, tidak untuk administrasi, tidak untuk institusi, termasuk masjid sekalipun. Harta zakat sepenuhnya untuk seseorang (yang berhak). Secara syar'I, pengumpul zakat tidak berhak atas penentuan  peruntukan harta zakat. Hak itu sepenuhnya ada pada para mustahik. Tugas  amil hanya menariknya dari kaum berpunya dan membagikannya kepada yang berhak- segera dan secara tunai-dalam bentuk dinar emas dan dirham perak serta harta (pertanian, peternakan, perkebunan) lainnya.


Pertanda bahwa sedekah telah subur dan riba telah punah adalah banyaknya orang yang membayarkan zakatnya dalam alat bayar yang benar tersebut setiap hari, sepanjang tahun, dan dengan cara yang benar, yakni ditarik oleh para pemimpin Muslim (amir) setempat. Tata kelola zakat yang benar ditandai dengan adanya baitul mal di berbagai tempat di bawah amir-amir kaum Muslim serta menyantuni fakir miskin dan mustahik lain secara tunai dan terus-menerus karena zakat ditarik dan dibagikan dengan tiada hentinya.


Para amir atau petugas akan mendatangi mustahik dan menyerahkan harta zakat yang jadi hak mereka. Bukan membagi kupon, meminta mereka datang berduyun-duyun dan berdesakan, saling berebut, entah uang receh, entah sembako. Juga, bukan dengan mengakumulasikannya, menyusun program, dan melaksanakannya, sedangkan si papa dan miskin hanya menerima remah-remahnya.


Oleh: Zaim Saidi (Direktur Wakala Induk Nusantara)


Sumber: Republika Online

Klik suka di bawah ini ya