Perkembangan dan kemajuan praktik keuangan Islam yang fantastis, telah mengubah peta pemikiran dan praktik keuangan dunia secara signifikan. Meski baru lahir pada 1975 (merujuk pendirian Islamic Development Bank/IDB di Jeddah), diskursus dan praktik keuangan Islam telah merambah negara maju dan berkembang di lima benua. Padahal, sebelum IDB berdiri, format ekonomi dan keuangan Islam masih kabur.
Dr M Umar Chapra, seorang penggagas ekonomi dan keuangan Islam, pernah bercerita kepada penulis mengenai pengalaman pribadinya. Pertengahan 1950, saat menuntut ilmu ekonomi di sebuah universitas di Amerika, beliau sering berdiskusi dengan koleganya dari Pakistan dan negara-negara lain. Beliau berpendapat ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmiah sebenarnya ada dan bisa diwujudkan.
Keyakinannya yang begitu kuat dilatarbelakangi binaan intelektual gurunya, Sayyid Abul A'la al-Maududi, mengenai doktrin ajaran Islam yang universal dan komprehensif. Meskipun keyakinan itu senantiasa dikomunikasikan dengan koleganya dan kalangan akademisi di lingkungan universitas, ia tak mendapat respons positif. Dia malah diejek, diolok-olok, direndahkan, dan dianggap tidak tidak waras.
Atmosfer tak bersahabat itu disebabkan sedang berlangsungnya zaman keemasan ideologi ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Karena itu, hingga menyelesaikan S3 dan mengajar di almameternya, beliau terpaksa menyimpan gagasannya, untuk dibeberkan secara komprehensif saat situasi kondusif. Pulang ke Pakistan pada 1961, beliau bergabung dengan Central Institute of Islamic Research. Pusat kajian ilmiah itu mengkritisi secara sistematis gagasan dan prinsip yang tertuang dalam tradisi Islam, yang dipandang dapat memenuhi premis intelektual bagi sebuah sistem ekonomi yang sehat. Di lembaga ini beliau mendapat kesempatan mengembangkan fokus pemikirannya.
Setelah beberapa tahun mengajar ekonomi di beberapa universitas di Amerika, beliau menjadi penasihat ekonomi Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA). Aktivitas itu memberi pengalaman langsung dengan aspek operasional yang kompleks dari sebuah sistem keuangan dan pengendalian moneter. Setelah itu, literatur tentang ekonomi Islam bermunculan, terutama jadi topik tesis PhD mahasiswa seperti Dr MA Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, yang muncul pada 1970.
Studi kasus IDB
Saat negara-negara anggota OKI mendirikan IDB, para ekonom Muslim merasa tahapan ekonomi Islam telah beralih dari gagasan dan teori kepada praktik lapangan dan kelembagaan. IDB sebenarnya lebih menjadi sebuah proyek percontohan. IDB menjadi semacam laboratorium dan pusat pendidikan, pelatihan, dan kajian keuangan Islam internasional.
Banyak pihak, terutama akademisi, profesional, dan mahasiswa melakukan riset ilmiah di IDB. Hasil-hasil riset menjadi bahan seminar, simposium, dan konferensi internasional. Hal itu makin menegaskan identitas sekaligus menaikkan pamor IDB dalam percaturan keuangan Islam pada taraf global. Sosok dan kinerja IDB yang menjadi pusat perhatian para pakar, jelas sangat positif bagi kondisi dan positioning umat Islam vis-a-vis umat-umat lain dalam pergaulan internasional.
Keberhasilan itu tak hanya menghapuskan keraguan sebagian umat Islam akan kemampuannya mengatasi persoalan-persoalan internal yang berat, melainkan juga mempertebal keyakinan mereka bahwa sistem keuangan Islam jauh lebih adil, fair, dan stabil dibanding sistem keuangan yang ada. Bermodal kesuksesan IDB, kajian-kajian tentang ekonomi dan keuangan Islam menjalar hingga ke negara-negara Barat.
Di beberapa universitas di Saudi Arabia, mulai diajarkan Dirosah Fil-Iqtishod al-Islami, seperti di Universitas Imam di Riyadh dan Ummul Quro di Makkah. Di Pakistan didirikan International Institute of Islamic Economics pada 1980 dan di Malaysia didirikan Kulliyah of Islamic Economics pada 1983. Di Indonesia, walaupun isu tentang ekonomi Islam relatif terlambat masuk, namun ada antusiasme yang kuat untuk mempelajarinya, seolah hendak mengejar ketertinggalan. Di Indonesia, perkembagan kajian ilmiah ini sangat beragam dan dinamis, karena telah melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta, baik yang dimiliki umat Islam maupun non-Muslim.
Penciutan
Namun ada kecenderungan memprihatinkan. Arah perkembangan pemikiran ekonomi dan keuangan Islam mengalami penciutan. Gagasan yang semula berbasis pemikiran ekonomi dalam pengertian disiplin ilmiah (scientific discipline), kini terdorong lebih kuat ke arah bidang keuangan saja. Banyak perguruan tinggi yang menawarkan kajian Perbankan Syariah atau Akuntansi Syariah yang terlepas dari akar ilmu ekonomi Islam secara filosofis-epistemologis. Bahkan, modul pendidikan dan pelatihan perbankan, sering meniadakan pokok-pokok kajian tentang ekonomi Islam -- baik dalam pengertian science maupun sistem.
Seminar tentang perbankan Islam sering digelar dengan topik bervariasi, namun tampak lepas dari ruh dan spirit filosofi ekonomi Islam secara terpadu. Penjelasan narasumber menyisakan tanda tanya. Sangat logis, karena peserta sering menanyakan hal-hal fundamental-filosofis, tapi dijawab dengan pendekatan parsial-pragmatis. Biasanya, kalau tidak puas, mereka menggerutu ''Ah, ini sama saja dengan kapitalisme'', ''Ah, tidak ada bedanya dengan bank konvensional'', dan kalimat lain yang senada.
Kecenderungan ini berbahaya, karena akan melepaskan bagian-bagian yang menjadi pendukung bangunan ilmiah ekonomi Islam. Ibarat mobil yang dipreteli komponennya, sehingga tidak dapat berfungsi mengangkut penumpang. Jika bagian-bagian yang jadi komponen dan pendukungnya dicopot satu per satu, maka ekonomi Islam dalam pengertian sains menjadi hilang dan tidak akan mampu melakukan fungsinya sebagai sains. Apakah itu untuk memprediksi kejadian yang akan datang (Milton Friedman), atau melakukan deskripsi dan analisis fakta (Samuelson).
Kecenderungan tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak tersedianya literatur memadai. Masuknya isu ekonomi Islam di Indonesia tidak dibarengi dengan suplai sumber-sumber referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kedua, lebih terdorong karena semangat (hammasah). Dorongan yang dimotori oleh semangat saja, tidak dapat mengantarkan siapapun kepada tujuan yang hendak dicapai.
Ketiga, kajian yang ada kurang dilandasi pemahaman filosofi dan epistemologi keilmuan memadai. Mungkin ini persoalan akademis yang paling berat. Hingga sekarang, belum terlihat ada pakar ekonomi Islam di Indonesia yang menguasai aspek itu. Yang muncul ke permukaan hanya mereka yang memahami sisi pragmatisme kajian ilmiah saja. Dan penulis sangat memahami mengapa itu terjadi, dan mengapa tidak banyak yang tertarik mendalami aspek filosofis ilmu ekonomi Islam.
Rel yang benar
Ada beberapa cara untuk membawa diskursus ekonomi dan keuangan Islam ke rel yang benar, sesuasi kaidah sebuah disiplin ilmiah. Antara lain, cara pertama, memperbanyak rujukan dan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Harus kita akui bahwa semua referensi tersebut tersedia dalam bahasa Inggris dan Arab. Karena itu, harus ada tahapan penerjemahan seperti upaya Khalifah Harun al-Rasyid dan khalifah-khalifah sesudahnya yang dalam menerjemahkan refensi Yunani, sehingga intelektual Muslim menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat.
Cara kedua, menjabarkan ilmu ekonomi Islam dengan segala cabangnya secara integral dan serentak. Misalnya mikroekonomi dan makroekonominya, keuangan publik, perpajakan, perdagangan dan keuangan internasional, bahkan aspek-aspek yang lebih rinci seperti teori perilaku konsumen dan produsen. Mengabaikan salah satu aspek akan mengakibatkan hilangnya struktur bangunan ilmu ekonomi Islam dan merusak gambarannya.
Cara ketiga, semangat (hammasah) harus dibarengi dengan pandangan yang jeli (bashirah). Diperlukan tingkat kekritisan yang tinggi dalam melakukan kajian, karena kita akan menghadapi perbedaan landasan filosofi dari masing-masing disiplin ilmiah. Para pakar ekonomi dan keuangan Islam harus mampu menjelaskan bahwa ekonomi dan keuangan Islam memiliki perbedaan landasan filosofis. Dan karena itu ia berbeda secara radikal dari disiplin manapun.
Tapi penjelasan tersebut harus menggunakan medium yang dapat dipahami oleh mereka yang berbeda pandangan. Pendeknya, kita harus dapat menjelaskan bahwa kita berbeda bukan sekadar berbeda, tapi karena memang berbeda. Cara keempat, proses sosialisasi ilmu ekonomi Islam harus dilakukan dengan menonjolkan akar pohon keilmuan, dan tidak berkonsentrasi pada cabang dan buahnya saja. Pendekatan seperti ini masih kurang, baik yang sedang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi maupun pelatihan pengenalan dan training for trainers untuk para guru dan dosen.
Cara kelima, pendekatan bagi pengajaran ilmu ekonomi dan keuangan Islam harus menghubungkan aspek ajaran Islam yang lebih pokok, seperti akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga pilar ini harus menjadi ruh, sehingga tercipta sebuah disiplin ilmiah yang bermakna, tidak saja secara intelektual, tapi juga secara batin dan nurani. Wallahu a'lam bis-shawab.
Oleh : Ikhwan A Basri (Anggota Dewan Syariah Nasional)
Republika Online