Saat ini banyak komunitas mempromosikan mata uang Dinar-Dirham. Anda sudah bisa membelanjakan koin tersebut di beberapa outlet khusus. Tentu saja anda belum bisa memperlakukannya seperti mata uang rupiah yang dapat digunakan secara bebas di mana-mana. Lagi pula mata uang ini denominasi masih terlalu besar sehingga sulit untuk menggantikan uang recehan.
Terlepas dari apakah mata uang ini akan menjadi mata uang global atau tidak, beberapa pihak tampaknya terlalu bersemangat dalam melakukan promosi. Maksudnya mungkin baik, tetapi implikasinya justru mungkin sangat kontra produktif. Ada beberapa hal yang terlalu dibuat lebay sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman yang salah. Promosi yang demikian tentunya kurang mendidik dan pada saatnya nanti akan timbul masalah bukti tidak sesuai dengan janji.
Salah satu contoh promosi yang salah arah adalah yang menyatakan bahwa Dinar-Dirham merupakan mata uang yang tak mengenal inflasi. Ungkapan yang populer untuk menunjukan hal ini adalah bahwa dulu waktu zaman Rosululloh harga seekor domba sekitar satu dinar dan sampai sekarangpun harganya tetap satu dinar. Silahkan anda percaya mengenai hal ini. Tapi ilmu ekonomi akan berkata lain.
Mata uang yang anda pegang sekarang baik dalam rupiah, dollar ataupun yang lainnya disebut sebagai fiat money. Disebut demikian karena dicetak oleh otoritas moneter tanpa harus di back-up dengan cadangan emas atau sejenisnya. Konsekuensinya, jika uang dicetak berlebihan maka akan timbul inflasi. Karena itu, kebijakan moneter seringkali menjadi sumber inflasi. Itu pula yang mendasari kenapa dewasa ini otoritas moneter diberi tugas mengendalikan inflasi. Dengan kata lain yang menjadi sumber inflasi diminta untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Kalau inflasi hanya disebabkan oleh kebijakan moneter maka Dinar-Dirham dapat mengatasinya dengan cespleng. Kalau Dinar-Dirham diadopsi sebagai mata uang resmi, maka otoritas moneter tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencetak uang secara semena-mena. Dengan kata lain, kekuasaan mencetak uang menjadi hilang.
Tapi itu tidak berarti bahwa inflasi akan hilang selamanya dari muka bumi. Inflasi masih akan ada walaupun semua umat manusia Dina-Dirham. Untuk memahami ini anda perlu sedikit mengamati fenomena harga relatif emas terhadap barang dan jasa. Kenapa demikian?
Dinar adalah mata uang berbasis emas, sedangkan Dirham adalah yang berbasis perak. Supaya mudah memahami, kita bahas Dinar sebagai contoh kasus. Kalau Dinar dijadikan sebagai mata uang tunggal maka semua harga akan mengacu pada Dinar. Dengan kata lain semua harga akan didenominasi dengan emas. Gampangnya, berapa gram emas dibutuhkan untuk membeli kerbau, kambing, angsa, beras, ikan, terasi, gula dan lain sebagainya. Semua harga barang dan jasa direlatifkan dengan kuantitas emas.
Karena itu untuk menguji apakah akan terjadi inflasi atau tidak jika emas dijadikan mata uang adalah dengan cara menguji secara statistik apakah nilai relatif emas terhadap barang lainnya stabil atau tidak. Kalau harga relatifnya adalah tetap maka kita berkesimpulan bahwa inflasi tidak terjadi. Kalau harga relatif emas cenderung melemah, kita sebut inflasi. Ingat bahwa inflasi didefinisikan sebagai melemahnya daya beli uang.
Bagi yang sulit untuk memahami analisis regresi, mungkin penjelasan berikut ini akan membantu dalam memberikan pengertian mengapa inflasi akan tetap ada. Tentu anda masih ingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini kecepatan kenaikan harga emas lebih tinggi dibanding kenaikan harga barang dan jasa umumnya. Itulah sebabnya mengapa gadai emas menjadi sangat populer. Orang berbondong-bondong berspekulasi dengan harga emas.
Bagaimana kalau harga semua barang dinyatakan dalam emas. Karena nilai emas mengalami kenaikan lebih tajam dibanding barang pada umumnya, maka jumlah emas yang harus dikorbankan untuk mendapatkan barang menjadi lebih sedikit. Kalau emas menjadi mata uang maka anda dapat menyatakan fenomena ini sebagai berikut: dengan jumlah emas (uang) yang semakin sedikit, kita dapat membeli sejumlah barang dan jasa. Artinya terjadi deflasi harga barang terhadap emas.
Beberapa bulan yang lalu, harga emas cenderung melemah sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Untuk fenomena ini anda bisa menyatakannya sebagai: untuk mendapatkan jumlah barang yang sama, kita perlu mengorbankan lebih banyak emas. Artinya terjadi inflasi harga barang terhadap emas.
Penjelasan di atas cukup memberikan bukti bahwa nilai emas terhadap barang dan jasa tidaklah konstan. Kalau tidak konstan berarti juga tidak stabil. Karena itu inflasi dan deflasi masih akan terjadi walaupun emas dijadikan mata uang.
Dalam ilmu ekonomi juga dijelaskan bahwa inflasi tidak hanya merupakan akibat dari pencetakan uang yang berlebihan. Faktor lainnya termasuk sistem pengupahan, kondisi infrastruktur, struktur pasar dan banyak hal lainnya. Tapi setidaknya kalau emas dijadikan sebagai mata uang, salah satu sumber inflasi akan hilang.
Mungkin cara promosi yang benar adalah adopsi Dinar-Dirham sebagai mata uang akan menghilangkan salah satu sumber inflasi tapi tidak meniadakan inflasi selamanya. Karena memang begitulah yang sesungguhnya.
Terlepas dari apakah mata uang ini akan menjadi mata uang global atau tidak, beberapa pihak tampaknya terlalu bersemangat dalam melakukan promosi. Maksudnya mungkin baik, tetapi implikasinya justru mungkin sangat kontra produktif. Ada beberapa hal yang terlalu dibuat lebay sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman yang salah. Promosi yang demikian tentunya kurang mendidik dan pada saatnya nanti akan timbul masalah bukti tidak sesuai dengan janji.
Salah satu contoh promosi yang salah arah adalah yang menyatakan bahwa Dinar-Dirham merupakan mata uang yang tak mengenal inflasi. Ungkapan yang populer untuk menunjukan hal ini adalah bahwa dulu waktu zaman Rosululloh harga seekor domba sekitar satu dinar dan sampai sekarangpun harganya tetap satu dinar. Silahkan anda percaya mengenai hal ini. Tapi ilmu ekonomi akan berkata lain.
Mata uang yang anda pegang sekarang baik dalam rupiah, dollar ataupun yang lainnya disebut sebagai fiat money. Disebut demikian karena dicetak oleh otoritas moneter tanpa harus di back-up dengan cadangan emas atau sejenisnya. Konsekuensinya, jika uang dicetak berlebihan maka akan timbul inflasi. Karena itu, kebijakan moneter seringkali menjadi sumber inflasi. Itu pula yang mendasari kenapa dewasa ini otoritas moneter diberi tugas mengendalikan inflasi. Dengan kata lain yang menjadi sumber inflasi diminta untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Kalau inflasi hanya disebabkan oleh kebijakan moneter maka Dinar-Dirham dapat mengatasinya dengan cespleng. Kalau Dinar-Dirham diadopsi sebagai mata uang resmi, maka otoritas moneter tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencetak uang secara semena-mena. Dengan kata lain, kekuasaan mencetak uang menjadi hilang.
Tapi itu tidak berarti bahwa inflasi akan hilang selamanya dari muka bumi. Inflasi masih akan ada walaupun semua umat manusia Dina-Dirham. Untuk memahami ini anda perlu sedikit mengamati fenomena harga relatif emas terhadap barang dan jasa. Kenapa demikian?
Dinar adalah mata uang berbasis emas, sedangkan Dirham adalah yang berbasis perak. Supaya mudah memahami, kita bahas Dinar sebagai contoh kasus. Kalau Dinar dijadikan sebagai mata uang tunggal maka semua harga akan mengacu pada Dinar. Dengan kata lain semua harga akan didenominasi dengan emas. Gampangnya, berapa gram emas dibutuhkan untuk membeli kerbau, kambing, angsa, beras, ikan, terasi, gula dan lain sebagainya. Semua harga barang dan jasa direlatifkan dengan kuantitas emas.
Karena itu untuk menguji apakah akan terjadi inflasi atau tidak jika emas dijadikan mata uang adalah dengan cara menguji secara statistik apakah nilai relatif emas terhadap barang lainnya stabil atau tidak. Kalau harga relatifnya adalah tetap maka kita berkesimpulan bahwa inflasi tidak terjadi. Kalau harga relatif emas cenderung melemah, kita sebut inflasi. Ingat bahwa inflasi didefinisikan sebagai melemahnya daya beli uang.
Bagi yang sulit untuk memahami analisis regresi, mungkin penjelasan berikut ini akan membantu dalam memberikan pengertian mengapa inflasi akan tetap ada. Tentu anda masih ingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini kecepatan kenaikan harga emas lebih tinggi dibanding kenaikan harga barang dan jasa umumnya. Itulah sebabnya mengapa gadai emas menjadi sangat populer. Orang berbondong-bondong berspekulasi dengan harga emas.
Bagaimana kalau harga semua barang dinyatakan dalam emas. Karena nilai emas mengalami kenaikan lebih tajam dibanding barang pada umumnya, maka jumlah emas yang harus dikorbankan untuk mendapatkan barang menjadi lebih sedikit. Kalau emas menjadi mata uang maka anda dapat menyatakan fenomena ini sebagai berikut: dengan jumlah emas (uang) yang semakin sedikit, kita dapat membeli sejumlah barang dan jasa. Artinya terjadi deflasi harga barang terhadap emas.
Beberapa bulan yang lalu, harga emas cenderung melemah sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Untuk fenomena ini anda bisa menyatakannya sebagai: untuk mendapatkan jumlah barang yang sama, kita perlu mengorbankan lebih banyak emas. Artinya terjadi inflasi harga barang terhadap emas.
Penjelasan di atas cukup memberikan bukti bahwa nilai emas terhadap barang dan jasa tidaklah konstan. Kalau tidak konstan berarti juga tidak stabil. Karena itu inflasi dan deflasi masih akan terjadi walaupun emas dijadikan mata uang.
Dalam ilmu ekonomi juga dijelaskan bahwa inflasi tidak hanya merupakan akibat dari pencetakan uang yang berlebihan. Faktor lainnya termasuk sistem pengupahan, kondisi infrastruktur, struktur pasar dan banyak hal lainnya. Tapi setidaknya kalau emas dijadikan sebagai mata uang, salah satu sumber inflasi akan hilang.
Mungkin cara promosi yang benar adalah adopsi Dinar-Dirham sebagai mata uang akan menghilangkan salah satu sumber inflasi tapi tidak meniadakan inflasi selamanya. Karena memang begitulah yang sesungguhnya.
Oleh: Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany