Dalam sebuah pengajian, seorang teman bertanya mengenai hukum berkebun emas yang baru-baru ini marak jadi ladang bisnis perbankan syariah. Pak ustaz kemudian menjawab bahwa hukumnya mirip-mirip dengan kawin kontrak. Lho kok bisa? Begini ceritanya.
Yang dimaksud dengan berkebun emas adalah melakukan investasi dalam bentuk emas dengan memanfaatkan skema pembiayaan gadai syariah. Fungsinya adalah untuk melipatgandakan keuntungan dengan hanya bermodal uang yang seminimum mungkin. Mekanismenya adalah sebagai berikut. Kalau Anda punya uang sebesar Rp 60 juta dan harga emas adalah Rp 400 ribu per gram maka uang tersebut cukup untuk membeli 150 gram emas. Dari data historis diketahui bahwa harga emas rata-rata mengalami kenaikan kurang lebih 25 persen per tahun. Kalau pola data harga seperti itu masih terus berlaku, tahun depan nilai emas tersebut akan menjadi Rp 75 juta.
Kalau Anda tidak dalam keadaan yang terdesak, emas adalah cara yang relatif aman untuk memupuk kekayaan. Pada saat harga sedang turun, Anda tidak usah menjualnya. Anda boleh menjualnya pada saat yang paling menguntungkan. Mudah bukan? Tetapi, kalau Anda bersedia untuk berspekulasi, Anda dapat memanfaatkan skema gadai untuk melipatgandakan keuntungan. Caranya adalah sebagai berikut. Pertama, yang harus diperhitungkan adalah biaya gadai dan nilai pembiayaan gadai. Di beberapa bank, biaya gadai pada umumnya adalah sekitar satu persen atau sekitar Rp 4 ribu setiap bulan.
Untuk satu tahun Anda harus membayar 48 ribu rupiah untuk setiap gramnya. Untuk gampangnya kita bulatkan saja menjadi Rp 50 ribu per gram. Nilai pembiayaan gadai biasanya mencapai 75 persen dari nilai pasar atau 80 persen dari nilai taksiran. Untuk mudahnya, kita asumsikan saja nilai gadainya adalah Rp 300 ribu per gram. Langkah yang kedua adalah menghitung jumlah emas yang akan digadaikan. Untuk setiap gram emas yang Anda beli, Anda cukup menyediakan uang Rp 100 ribu karena bank telah menyediakan pembiayaan Rp 300 ribu per gram.
Selain itu, Anda harus menyediakan Rp 50 ribu sebagai biaya gadai untuk masa kontrak satu tahun. Jadi, jumlah uang yang harus Anda tanam adalah Rp 150 ribu per gram. Dengan modal Rp 60 juta Anda dapat menggadaikan emas sebanyak 400 gram atau setara dengan Rp 160 juta. Langkah yang ketiga adalah melakukan pembelian emas yang kemudian digadaikanke bank secara simultan. Anda membeli 150 gram emas terlebih dahulu, dan kemudian digadaikan. Uang hasil gadai Anda belikan emas kembali, dan kemudian gadaikan lagi. Langkah ini diulang-ulang terus sampai jumlah yang tergadai mencapai 400 gram. Hal seperti inilah yang sekarang banyak mewarnai diskusi orang-orang yang ingin cepat kaya dengan cara yang mudah.
Sepintas memang Anda tinggal ongkang-ongkang kaki menghitung keuntungan. Selama kenaikan harga emas berada di atas ongkos gadai, keuntungan dapat dinikmati tanpa ada upaya apa pun. Lagi pula jumlah emas yang dijadikan portofolio menjadi berlipat ganda. Kalau harga emas naik 25 persen per tahun, maka return yang diperoleh bisa mencapai 67 persen. Karena itu, para penggemarnya menyebutnya sebagai berkebun emas. Bisnis apa yang bisa menguntungkan seperti itu? Itu kalau untung Iho. Kalau harga emas lagi jeblok, ya pasti ruginya berlipat ganda juga. Kalau harga emas turun 10 persen saja, kerugian yang harus ditanggung bisa mencapai 27 persen. Hukum high risk high return tentunya berlaku juga dalam kasus ini.
Dari segi syariah, bisa jadi syarat sah pembiayaan gadai sudah bisa terpenuhi secara sempurna. Tapi, yang jadi masalah adalah motif atau niat yang mendasarinyaadalah spekulasi alias dekat-dekat dengan perjudian. Kalau masalah niat itu adalah masalah hati dan hanya Allah SWT yang tahu. Lagi pula orang yang melakukan gadai mungkin jarang ditanya motifnya apa. Sejatinya, mekanisme gadai disediakan bagi pihak-pihak yang sedang terdesak masalah keuangan secara sementara. Di dalamnya lebih banyak terkandung pesan tolong-menolong.
Komersialisasi gadai memang pada akhirnya membawa ekses bahwa unsur seperti ini hilang sama sekali. Itu tidak berarti bahwa gadai syariah tak bisa dikelola secara komersial. Yang paling penting adalah kemauan pihak bank untuk mengembangkan mekanisme yang lebih hati-hati supaya gadai syariah tidak lantas menjadi ladang spekulasi. Makanya Pak Ustaz kemudian menyebut hukumnya mirip-mirip dengan kawin kontrak. Walaupun nikah yang secara simultan diikuti dengan perceraian dapat dibuat seolah-olah sesuai syarat sahnya pernikahan dan perceraian, banyak pihak mempertanyakan filosofi dan niatnya. Kalau landasannya adalah mengumbar nafsu, apa iya Allah akan meridainya? Kalau sudah seperti ini kita kembalikan saja kepada Yang Maha Mengetahui. Terakhir, segala perbuatan sangat ditentukan oleh niat awalnya. Gusti Allah ora Jian SWT tidak pernah tidur.
Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPBM
Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB