Memahami Zakat Sebagai Sarana Distribusi Kesejahteraan

PKPU Online Oleh Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

Firman Allah SWT: “Dan pada harta−harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Az−Zariyat (51): 19)

Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan (penghasilan) dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, insiatif, usaha, dan resiko.

Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan sumber−sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber−sumber daya di tangan segelintir orang.

Kurangnya program yang efektif untuk mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi selama ini, jika tidak diantisipasi, maka akan mengakibatkan kehancuran umat yang lebih parah. Syariah Islam sangat menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 7.

Salah satu cara yang dituntut oleh Syariah Islam atas kewajiban kolektif perekonomian umat Islam adalah "lembaga zakat". Secara teknik, zakat adalah kewajiban financial seorang muslim untuk membayar sebagian kekayaan bersihnya atau hasil usahanya apabila kekayaan yang dimilikinya telah melebihi nishab (kadar tertentu yang telah ditetapkan).

Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran−ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang soio−ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Dalam kenyataan yang terjadi saat ini di Indonesia, zakat yang diterima oleh Badan atau Lembaga Amil Zakat tidak signifikan dengan jumlah penduduk muslim yang ada. Kecilnya penerimaan zakat oleh Amil Zakat bukan hanya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan agama masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Hal itu mengakibatkan masyarakat condong menyalurkan zakat secara langsung kepada orang, yang menurut mereka, berhak menerimanya. Sehingga tujuan dari zakat sebagai dana pengembangan ekonomi tidak terwujud, tetapi tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan konsumtif yang sifatnya sangat temporer.

Sebagai contoh adalah pemberian zakat di bulan Ramadhan yang digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi si miskin di hari Raya, dan setelah hari Raya mereka kembali tidak tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka sehari−hari.

Pembagian dana zakat, sebenarnya, harus memberikan keutamaan dengan tujuan yang memungkinkan si miskin dapat menjalankan usaha sehingga mampu berdikari, sebab merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menghidupi dirinya. Ajaran Islam sangat melarang seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.

Dengan demikian dana zakat, juga infaq & sadaqah, hanya dapat menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang−orang yang benar−benar tidak dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia seorang yang menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang lain, dana tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer disamping sumber−sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi.

Dengan demikian, penggunaan dana zakat secara profesional akan memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio−ekonomi yang menggalakkan industri kecil−mikro dan kemudian akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial−ekonomi.

Zakat, sebenarnya, bukan monopoli ajaran Islam karena instrumen sejenis juga ditemui dalam ajaran lain. Dalam ajaran Hindu disebut "datria datrium", ajaran Budha menyebut "sutta nipata", sedangkan ajaran Kristiani mengenal "tithe" yang didefinisikan sebagai bagian dari pendapatan seseorang yang ditentukan oleh hukum untuk dibayar kepada gereja bagi pemeliharaan kelembagaan, dukungan untuk pendeta, promosi kegiatannya, dan membantu orang miskin. Dalam kenyataan di lapangan, "tithe" lebih berhasil dibandingkan "zakat", padahal kewajiban "tithe" adalah 10%, sedangkan "zakat" hanya 2,5%.

Menurut ajaran Islam, pembayaran zakat bukan merupakan suatu bentuk kepemihakan kepada si miskin. Karena, si kaya bukanlah pemilik riil kekayaan tersebut. Mereka hanya pembawa amanah sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Hadiid ayat 7. Si kaya harus membelanjakan hartanya menurut persyaratan amanah dan yang paling penting salah satunya adalah memenuhi kebutuhan orang−orang miskin.

Diharapkan setiap Muslim yang sadar akan kewajiban agamanya, selalu bersedia membayar zakat, jika ia bertindak secara rasional untuk menjamin kepentingan jangka pendek dan jangka panjangnya, mencari keridhoan Allah SWT dalam kekayaannya di dunia dan akhirat.

Menurut Umer Chapra, zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.

Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai−nilai Islam−nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar.

Klik suka di bawah ini ya