ASPEK SOSILOGIS SENGKETA EKONOMI SYARIAH

ASPEK SOSILOGIS SENGKETA EKONOMI SYARIAH
DAN
PELAKSANAAN EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Oleh: Ahmad Rofiq **

Muqaddimah

Sejak muncul inisiatif pemerintah untuk menambahkan Bab IX pasal 52 tentang Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah yang semula menjadi kewenangan Peradilan Agama dan akan diserahkan kepada Peradilan Umum, menimbulkan "keresahan" pada sebagian besar kaum muslim. Jika ini nantinya oleh DPR-RI pansus RUU Perbankan Syariah diterima dan disetujui, maka diprediksi akan melahirkan ketidak puasan, dan secara sosiologis akan memancing "kemarahan" umat Islam, karena dirasa melukai perasaan mereka. Alasannya, perubahan tersebut berarti menjauhkan umat Islam untuk menjalankan sebagian ajaran agamanya, dalam hal ini, di dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, yang ditangani oleh peradilan umum yang notabene menggunakan yang bernuansa dan berparadigma hukum barat.

Menurut Alqur'an, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai orang yang imannya baik, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. Al-Nisa', 4:65)[1].

Jika Alqur'an secara jelas menggariskan bahwa orang Islam bertransaksi dan menyelesaikan sengketanya jika muncul, dengan hukum dan hakim yang seagama, maka tentu akan menjadi patokan bagi mereka dalam penyelesaian sengketa perbankan atau ekonomi syariah. Tulisan ini akan mencoba menganalisis tentang penyelesaian perbankan atau ekonomi syariah dalam perspektif sosiologis. Namun sebelum itu, akan dikemukakan persepsi masyarakat tentang perbankan syariah.
Persepsi Masyarakat tentang Perbankan Syariah

Ada dua sisi menurut hemat saya perlu ditempatkan dalam menunjukkan persepsi masyarakat terhadap perbankan syari'ah. Pertama, secara riil, jika pertumbuhan perbankan baik dari sarana-prasarana layanan meningkat, nasabah -- baik peminjam maupun penabung/penitip meningkat, kemudian aset dan perputaran uang di dalamnya mengalami peningkatan, dapat ditafsirkan masyarakat memiliki persepsi yang positif. Karena peningkatan fasilitas itu semua, berkait dengan hukum pasar "supply and demand".

Data terakhir yang saya miliki per-Agustus 2007 menunjukkan, bahwa pertumbuhan dan perkembangan Perbankan Syari'ah di Indonesia cukup fenomenal. Dari hanya satu bank umum syari'ah dan 78 BPRS pada tahun 1998, menjadi 3 bank umum syari'ah, 24 unit usaha syari'ah (UUS), 108 BPR Syari'ah. Jumlah aset Rp 1,7 trilyun, dengan nasabah loyal 14,1% sementara nasabah loyal pada Bank Konvensional 24,7%. Akhir 2008 ditarget oleh BI, total aset Bank Syariah mencapai 5%.

Reasoningnya, selain angka non-performing financings-nya yang lebih rendah dibanding dengan bank konvensional, negative-spread-nya tidak menghantui perbankan dengan sistem syari'ah ini, dan lebih menunjukkan konsistensinya dalam menjalankan fungsi intermediasinya.

Dari sisi regulasi, memang sudah ada UU No. 10/1998 sebagai amandemen UU No. 72/1992 tentang perbankan, dan diperkuat lagi dengan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang "sudah" mengakomodasi berjalannya sistem syari'ah, tetapi rasanya masih harus diupayakan lagi agar supaya lebih fleksibel. Sebab ada informasi yang saya terima , untuk setingkat BPR konvensional, tidak bisa seperti bank konvensional yang diberi ijin membuka layanan syari'ah, tetapi harus ada ijin tersendiri.

Menurut saya, pertumbuhan tersebut dapat ditafsirkan bahwa persepsi masyarakat secara nyata telah diwujudkan dengan menjadi mitra, nasabah, dan sekaligus menggerakkan berjalannya sistem perbankan syari'ah.

Kedua, data penelitian di Jawa Tengah dan DIY, yang dilakukan Puslit Kajian Pembangunan Lemlit UNDIP kerjasama dengan Bank Indonesia menunjukkan bahwa dengan sampel 15 kabupaten/kota, masing-masing 100 responden (20 % RT produksi 80 % RT konsumsi), dengan pertimbangan (1) potensi agama (Islam); (2) potensi ekonomi, menunjukkan hasil sebagai berikut :

Persepsi masyarakat terhadap bunga perbankan (konvensional), 48,47 % menyatakan haram, 20,47 % halal, dan 31,06 % syubhat.
Pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan perbankan syari'ah, 70,53 % telah mendengar nama "Perbankan Syari'ah", tetapi pengetahuan mereka tentang sistem dan produk masih sangat terbatas.
Keinginan menabung masyarakat muncul dari mereka yang berpendidikan relatif rendah, mereka yang berpendidikan tinggi terlihat lebih kritis menilai perbankan syari'ah. Dilihat dari pengeluaran, mereka yang pengeluarannya lebih tinggi cenderung ingin menabung. Responden yang ingin menabung sebagian besar pada sektor pertanian dan jasa. Yang menarik adalah, masyarakat yang ingin menabung justru yang akses wilayahnya rendah dibanding dengan yang akses wilayahnya tinggi. Dilihat pada kedudukan sosial, diperoleh data bahwa mereka yang berkedudukan sosial tinggi berkeinginan untuk menabung.
Pada sisi pembiayaan, masyarakat yang ingin mendapatkan pembiayaan dari perbankan syari'ah adalah mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah. Dilihat pada sisi pengeluarannya, mereka yang pengeluarannya tinggi, cenderung memperoleh pembiayaan. Mereka yang bekerja pada sektor industri dan jasa ada kecenderungan memperoleh pembiayaan dari perbankan syari'ah, tetapi termasuk unit usaha dalam skala kecil. Selain itu juga corak masyarakat yang terbuka yang cenderung mendapat pembiayaan dari perbankan syari'ah.
Tentang preferensi msyarakat terhadap keuntungan relatif, 51,80 % setuju, 1,93 % sangat setuju, 2,27 % menyatakan tidak setuju, dan 44,00 % ragu-ragu karena belum mengetahui betul tentang perbankan syari'ah.
Akan halnya terhadap prinsip dan produk perbankan syari'ah, 63,93 % setuju, 13,33 % tidak tahu, dan yang paling mendukung dari Kabupaten Jepara, Kudus dan Boyolali. Tentang istilah-istilah dalam produk pengetahuan masyarakat menunjukkan wadiah (6,80 %), istisna' (5,67), wakalah (7,47), kafalah (11,40) hawalah (6,67) rahn (11,47) qardl (10,67).
Dalam perilaku menabung 64,8 % bersedia menabung, 7,1 % tidak ingin, dan 28,07 ragu-ragu. Untuk yang berkeinginan mendapatkan pembiayaan diperoleh gambaran, untuk Jawa Tengah 55,4 % (yang potensial Kota Tegal 77,0 %, Brebes 71,0 %, dan Boyolali 75,0 %) dan DIY 55,1 %.
Klausul Penarikan Kewenangan Peradilan Agama

Penambahan klausul tentang penarikan kewenangan Peradilan Agama dan diserahkan kepada Peradilan Umum, dibreakdown dalam pasal 52 yang berbunyi: Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum. Dalam penjelasan disebutkan: Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum, karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial. Sebelum penyelesaian snegketa diserhakan kepada pengadilan umum dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: a. Melalui musyawarah; b. Dalam hal musyaawarah sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi perbankan atau mekanisme arbitrase syariah.

Penarikan kewenangan tersebut, bertentangan dengan bunyi pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selengkapnya bunyi pasal 49 adalah sebagai berikut: "Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara ornag-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infak; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syariah.

Selain itu, juga bertentangan dengan ketentuan pasal 50 ayat (2) yang berbunyi: "apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49".

Selain itu, alasan dalam penjelasan, bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi yang terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial, adalah mengada-ada dan tidak mengindahkan semangat UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah mengatur perbankan berdasarkan prinsip syariah dan tidak mengatur tentang sengketa perbankan.

Penanganan Sengketa Ekonomi Syariah: Perspektif Sosiologis

Dalam teori sosiologis, sebuah komunitas penganut agama, ketika merasa telah diusik hal-hal yang menjadi wilayah kesadaran "agamanya", sama halnya dengan mengusik ketenangannya. Penarikan kewenangan peradilan agama untuk menangani snegketa perbankan/ekonomi syariah, sama halnya "kesengajaan" menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Meminjam bahasa Prof Hazairin, dalam menyikapi langkah Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX ketika mengintrodusir teori receptie, yang menegaskan bahwa hukum Islam dapat dilaksanakan jika diterima - atau diresepsi - oleh hukum adat, langkah penarikan kembali kewenangan Peradilan Agama dalam menangani sengketa perbankan/ekonomi syariah adalah "teori iblis".

Karena apapun dan bagaimanapun kualitas keberagamaan seseorang, dalam persoalan sengketa hukum, yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pengamalan agamanya, maka ia ingin diselesaikan dengan ketentuan hukum agamanya. Karena itulah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, merasa prihatin dan khawatir, apabila penambahan Bab IX dan Pasal 52 ke dalam RUU Perbankan Syariah dipaksakan, akan dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan instabilitas sosial-politik yang berimplikasi timbulnya konflik horizontal yang tidak perlu, yang akan mencederai proses demokratisasi yang sedang berjalan. Atas dasar keprihatinan tersebut, MUI Jawa Tengah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua Mahkamah Agung RI, dan Ketua Umum MUI Pusat agar melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Mencabut atau membatalkan penambahan Bab IX dan Pasal 52 tersebut dalam RUU Perbankan Syariah; 2. Mengindahkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; dan 3. Mengindahkan ketentuan pasal 49 dan 50 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang belum genap dua tahun berlaku.

Khatimah

Mengakhiri pengantar ini, dapat disimpulkan, bahwa secara sosiologis perbankan atau ekonomi syariah sebagai instrumen ekonomi umat Islam, adalah sebagai bentuk pengamalan ajaran agamanya. Dalam setiap transkasi akan membuka peluang kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu, di dalam penanganan sengketa yang timbul akibat transaksi perbankan atau ekonmi syariah, penyelesaiannya didasarkan pada ketentuan hukum agamanya, dan diselesaikan oleh pengadilan yang dapat merepresentasikan pengamalan ajaran agamanya.

Dalam konteks inilah, maka penyelesaian sengketa perbankan atau ekonomi syariah, yang sudah ditentukan dalam UU No. 3 Tahun 2006, jika akan ditarik kembali, sama halnya akan mengusik ketenangan dan keyakinan agamanya. Atau meminjam bahasa Hazairin, disebut dengan teori "iblis" yang ingin menjauhkan umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Demikian,semoga bermanfaat, Allah a'lam bi al-shawab.

Semarang, 17 Maret 2008.

* Disampaikan dalam acara Seminar Nasional Hukum Ekonomi Syari'ah, diselenggarakan atas Kerjasama Magister (S2) Ilmu Hukum UNISSULA, Pengadilan Tinggi Agama Semarang, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Kampus UNISSULA Semarang, Rabu, 19 Maret 2008.

** Anggota Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) BPRS PNM-BINAMA Semarang, Ketua MP3A Jawa Tengah, Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah, Guru Besar IAIN Walisongo Semarang, Ketua Presidium Forum Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD) Jawa Tengah, Sekretaris Dewan Pendidikan Jawa Tengah, Direktur LAZISMA Jawa Tengah, Ketua II Yayasan Pusat Kajian dan Pengembangan Islam (YPKPI) Baiturrahman Semarang, Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat BAZ Daerah Provinsi Jawa Tengah, Anggota Dewan Pakar ICMI Orwil Jawa Tengah, Ketua Komite Sekolah SD Koalisi Nasional, SMP 23 Semarang, dan SMA 8 Semarang.

[1] Fala wa Rabbika la yu'minuna hatta yuhakkimuka fima syajara bainahum tsumma la yajidu fi anfusihim harajan mimma qadlaita wa yusallimu taslima artinya maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Klik suka di bawah ini ya